Rabu, 10 Maret 2010

MENTALITAS “KERUMUNAN” PARA DEMONSTRAN*

Mengapa aksi-aksi demonstrasi, baik yang dilakukan oleh mahasiswa, aktivis buruh, anggota ormas maupun elemen-elemen masyarakat lainnya selalu diidentikkan dengan tindakan anarkistis dan aksi kekerasan? Bahkan dalam beberapa kasus, hal tersebut justru dilakukan oleh oknum aparat keamanan-dengan dalih melindungi diri atau menjaga ketertiban dan keamanan-yang seharusnya melindungi para demonstran dari ancaman serangan pihak lain yang berbeda kepentingan dengan para demonstran tersebut.

Ada beberapa faktor yang menurut penulis menjadi penyebab timbulnya penilaian negatif dan antipati publik terhadap aksi-aksi demonstrasi yang disertai tindakan kekerasan dan anarkistis. Pertama, meskipun aksi demonstrasi mempunyai andil besar terhadap lengsernya rezim orde lama yang dipelopori gerakan mahasiswa angkatan ’65 dengan dukungan ABRI dan runtuhnya rezim orde baru yang dimotori oleh gerakan mahasiswa angkatan ’98 dengan dukungan tokoh-tokoh reformis, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) terhadap aksi-aksi demonstrasi anarkistis yang sering terjadi di Indonesia.

Betapapun mulianya suatu niat baik untuk menyuarakan aspirasi golongan masyarakat yang termarjinalkan, tetapi dalam pelaksanaannya merugikan banyak pihak, apalagi sampai menimbulkan korban luka-luka dan korban jiwa, justru menjadi hal yang kontraproduktif dan memprihatinkan.

Kedua, terbentuknya mentalitas “kerumunan” para demonstran sebagai ekses dari meleburnya identitas pribadi ke dalam identitas kelompok yang cenderung mengarah kepada tindakan-tindakan anonim tidak bertanggung jawab, yang menurut fakta di lapangan, awalnya hanya dilakukan oleh segelintir orang tertentu sebagai provokator lalu menulari demonstran-demonstran lainnya yang mudah terpengaruhi.

Ketiga, buruknya kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi besar, baik ormas maupun orma yang memungkinkan masuknya orang-orang yang tidak mempunyai visi dan tujuan yang jelas dalam berorganisasi, sehingga hanya sekadar menjadi “follower” tanpa memahami dengan baik substansi dan esensi sebuah aksi demonstrasi sebagai bagian dari proses perjuangan pergerakan.

Keempat, maraknya praktek makelar demonstrasi yang dibiayai oleh institusi-institusi atau individu-individu berkantong tebal demi kepentingan mereka sendiri yang menjadikan aksi demonstrasi hanya sekadar ajang mobilisasi massa untuk menggiring opini publik terhadap isu-isu yang mengancam kelangsungan bisnis atau karir politik mereka ke arah yang menguntungkan mereka sebagai pemodal. Bagi para demonstran bayaran, aksi demonstrasi semacam ini hanyalah sekadar ajang mencari uang di tengah-tengah kondisi sulitnya mencari pekerjaan.

Kelima, ada beberapa ormas besar yang dalam setiap aksi-aksi demonstrasinya selalu berujung pada tindakan anarkistis; pemukulan, pembakaran rumah ibadah, pengrusakan tempat hiburan, entah memang sudah niat awal atau spontan melakukannya? Dan yang paling menyedihkan, mereka selalu mengatasnamakan agama atau etnis tertentu.

Aksi demonstrasi minus kekerasan dan tindakan anarkistis, masih tetap diperlukan, karena masih sering terjadi kegagalan dalam proses komunikasi, negosiasi, mediasi, dan diplomasi di tingkat elite. Maka dari itu, penulis berharap kepada aktor-aktor intelektual sebagai motor penggerak aksi-aksi demonstrasi untuk lebih selektif memilih para demonstran yang akan berunjuk rasa, lebih kreatif memilih format aksi yang mengundang simpati publik, misalnya; aksi damai teatrikal, dan jangan sampai terjebak ke dalam praktek makelar demonstrasi dengan alasan apapun demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas dan efektifitas aksi demonstrasi di negeri ini.

*(pernah dimuat di harian Seputar Indonesia)

Hartono. Bekasi. Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar