Minggu, 21 November 2010

KESIMPULAN DAN SARAN &

KESIMPULAN DAN SARAN

Untuk meraih hasil yang optimal dalam upaya pengembangan industri kreatif, maka dibutuhkan adanya kolaborasi antar aktor utama.

1. Intelektual, bisnis dan pemerintah harus berkomitmen untuk melakukan koordinasi yang berkesinambungan dan mengupayakan sinergi untuk mengembangkan industri kreatif. Komitmen ini meliputi keterlibatan finansial dan non finansial. Dalam hal finansial, pembiayaan program pengembangan industri kreatif dapat dilakukan melalui mekanisme APBN oleh pemerintah pusat atau APBD oleh pemerintah daerah, melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility) atau dana R&D (Research and Development) oleh bisnis, dan melalui alokasi dana riset kepada akademisi peneliti di perguruan tinggi. Sedangkan secara non finansial dapat dilakukan melalui pelaksanaan administrasi publik yang lebih efektif dan efisien, melalui komitmen para tenaga pendidik di perguruan tinggi untuk lebih menekankan aspek kreatifitas dan inovasi dalam proses belajar-mengajar dan melalui dukungan mentoring oleh para pelaku bisnis senior kepada para pelaku bisnis pemula, terutama yang bergerak di sektor industri kreatif.
2. Membentuk knowledge space bagi industri kreatif dengan menciptakan media pertukaran informasi, pengetahuan, ketrampilan, teknologi, pengalaman, preferensi dan lokasi pasar serta informasi-informasi lainnya. Media informasi ini dimaksudkan untuk mengusahakan agar terciptanya kondisi informasi sempurna dan simetris bagi seluruh pelaku usaha yang sangat penting untuk menciptakan iklim industri yang kondusif menuju perkembangan yang lebih agresif.

Setiap aktor memiliki tantangan serta peran yang berbeda-beda dalam mengembangkan landasan dan pilar dalam model pengembangan industri kreatif. Tantangan masing-masing aktor ini dapat dilihat pada matriks di bawah ini.



Sedangkan penjelasan bentuk peran dari masing-masing aktor dapat dilihat pada masing-masing tabel landasan dan pilar industri kreatif di bawah ini.














DAFTAR PUSTAKA


Howkins, John. The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, Penguin Books. 2008.

Kelompok Kerja Indonesia Design Power – Departemen Perdagangan, Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif 2009‐2015, Departemen Perdagangan RI, Jakarta, 2008.

Kelompok Kerja Indonesia Design Power – Departemen Perdagangan, Studi Industri Kreatif 2007, Departemen Perdagangan RI, Jakarta, 2008.

Kelompok Kerja Indonesia Design Power – Departemen Perdagangan, Studi Industri Kreatif 2009, Departemen Perdagangan RI, Jakarta, 2009.

Toffler, Alvin. The Third Wave, London: Pan Books. 1981.

ANALISA DAN PEMBAHASAN

ANALISA DAN PEMBAHASAN

POLA INTERAKSI TRIPLE HELIX




Teori mengenai Triple Helix pada awalnya dipopulerkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff sebagai metode pembangunan kebijakan berbasis inovasi. Teori ini menekankan pentingnya penciptaan sinergi tiga kutub yaitu intelektual, bisnis dan pemerintah. Tujuan dari teori ini adalah pembangunan ekonomi berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan. Dari sinergi ini diharapkan terjadi sirkulasi ilmu pengetahuan berujung pada inovasi yang memiliki potensi ekonomi atau kapitalisasi ilmu pengetahuan (knowledge capital).

Triple Helix sebagai aktor utama harus selalu bergerak melakukan sirkulasi untuk membentuk knowledge spaces, ruang pengetahuan di mana ketiga aktor sudah memiliki pemahaman dan pengetahuan yang setara, yang akan mengarahkan ketiga aktor ini untuk membuat consensus space, ruang kesepakatan di mana ketiga aktor ini mulai membuat kesepakatan dan komitmen atas suatu hal yang akhirnya akan mengarahkan kepada terbentuknya innovation spaces, ruang inovasi yang dapat dikemas menjadi produk kreatif bernilai ekonomis. Sirkulasi ini selalu berusaha menciptakan kebaruan (inovasi) dan inovasi sering mengubah struktur yang telah ada, atau Destruksi Kreatif (Joseph Schumpeter, 1934) yang berarti, munculnya inovasi baru di dalam industri akan menggusur industri-industri lama yang tidak kreatif dan tergantikan dengan industri yang lebih kreatif. Ruang interaksi yang terjadi antar aktor utama Triple Helix dapat dianalisa sebagai berikut:

1. Ruang Ilmu Pengetahuan: Di sini individu-individu dari berbagai disiplin ilmu mulai terkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pertukaran informasi, ide-ide dan gagasan-gagasan. Wacana-wacana dan konsepsi tumbuh subur dan senantiasa dimantapkan.
2. Ruang Konsensus: Di sini mulai terjadi bentukan-bentukan komitmen yang mengarah pada inisiatif tertentu dan proyek-proyek, pembentukan perusahaan-perusahaan baru. Diperkuat pula oleh sirkulasi informasi yang kredibel dan netral sehingga menumbuhkan rasa kepercayaan individu-individu yang bersangkutan hingga menjadi dukungan-dukungan terhadap konsensus.
3. Ruang Inovasi: Di sini inovasi yang tercipta telah terformalisasi dan bertransformasi menjadi knowledge capital, berupa munculnya realisasi bisnis, realisasi produk baru, partisipasi dari institusi finansial (misalnya, Seed Capital, Angel Capital, Venture Capital) dan dukungan pemerintah berupa insentif, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran HKI dan sebagainya.


ANALISA PERAN TRIPEL HELIX

1. Intelektual (Intellectuals)
Intelektual disini memiliki peran sebagai sebagai agen yang menyebarkan dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, serta sebagai agen yang membentuk nilai‐nilai yang konstruktif bagi pengembangan industri kreatif dalam masyarakat. Intelektual sebagai bagian dari komunitas cendekiawan di dalam lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian, memiliki peranan yang besar dalam mengembangkan ekonomi kreatif.
Kontribusi akademisi tersebut dapat dijabarkan dalam tiga bentuk peranan, seperti juga yang termuat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu:

(1) Peran pendidikan ditujukan untuk mendorong lahirnya generasi kreatif Indonesia dengan pola pikir yang mendukung tumbuhnya karsa dan karya dalam industri kreatif;
(2) Peran penelitian dilakukan untuk memberi masukan tentang model kebijakan pengembangan industri kreatif dan instrumen yang dibutuhkan, serta menghasilkan teknologi yang mendukung cara kerja dan penggunaan sumber daya yang efisien dan menjadikan industry kreatif nasional yang kompetitif; dan
(3) Peran pengabdian masyarakat dilakukan untuk membentuk masyarakat dengan institusi/tatanan sosial yang mendukung tumbuh suburnya industri kreatif nasional.
Dalam menjalankan perannya secara aktif, cendekiawan dituntut untuk memiliki semangat disipliner dan eksperimental tinggi, menghargai pendapat yang bersebrangan (empati dan etika), mampu memecahkan masalah secara kreatif, menjalankan observasi yang bersifat lintas sektoral, menggunakan teknologi ICT dengan fasih, menjadi anggota forum pengkayaan ilmu pengetahuan dan seni baik secara nasional maupun internasional, formal maupun non‐formal.


2. Bisnis (Business)
Aktor bisnis merupakan pelaku usaha, investor dan pencipta teknologi‐teknologi baru, serta juga merupakan konsumen industri kreatif. Aktor bisnis juga perlu mempertimbangkan dan mendukung keberlangsungan industri kreatif dalam setiap peran yang dilakoninya. Misalnya melalui prioritas penggunaan input antara industri kreatif domestik, seperti jasa‐ jasa industri kreatif dalam riset, iklan dan lain‐lain.
Peran bisnis dalam pengembangan industri kreatif ini adalah:

1. Pencipta, yaitu sebagai center of excellence dari kreator produk dan jasa kreatif, pasar baru yang dapat menyerap produk dan jasa yang dihasilkan, serta pencipta lapangan pekerjaan bagi individu‐individu kreatif ataupun individu pendukung lainnya.
2. Pembentuk Komunitas dan Entrepreneur kreatif, yaitu sebagai motor yang membentuk ruang publik tempat terjadinya sharing pemikiran, mentoring yang dapat mengasah kreativitas dalam melakukan bisnis di industri kreatif, business coaching atau pelatihan manajemen pengelolaan usaha di industri kreatif. Dalam menjalankan perannya, bisnis dituntut untuk menggunakan kemampuan konseptual yang tinggi, mampu menciptakan variasi baru berupa produk dan jasa, mahir berorganisasi, bekerjasama, berdiplomasi (semangat kolaborasi dan orkestrasi), tabah menghadapi kegagalan yang dialami, menguasai konteks teknikal dan kemampuan perencanaan finansial.

3. Pemerintah (Government)
Keterlibatan pemerintah dalam pembangunan industri kreatif sangatlah dibutuhkan terutama melalui pengelolaan otonomi daerah yang baik, penegakan demokrasi, dengan prinsip‐prinsip good governance. Ketiganya bukan merupakan hal yang baru, memang sudah menjadi agenda utama reformasi. Jika berhasil dengan baik, ketiganya merupakan kondisi positif bagi pembangunan industri kreatif. Para ahli percaya, kemajuan pembangunan ekonomi kreatif sangat dipengaruhi oleh lokasi/place (identik dengan otonomi daerah), dan toleransi/pola pikir kreatif (identik dengan demokrasi).
Sementara prinsip‐prinsip good governance; partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsiveness, equity (keadilan), visi strategis, efektivitas dan efisiensi, profesionalisme, akuntabilitas, dan supervisi (arahan), adalah prinsip‐prinsip pengelolaan dimana industri kreatif bisa tumbuh agresif. Pemerintah haruslah memiliki kepekaan dan apresiasi terhadap aspirasi rakyat.
Memahami bahwa di dalam membangun insan Indonesia yang cerdas tidak dapat dijalankan hanya dalam jangka pendek, karena pembangunan kecerdasan berarti ada proses permbelajaran, pemuliaan dan pengkayaan. Mengejar hasil akhir dalam jangka pendek tanpa dilandasi pembangunan pilar yang kuat akan membuat struktur ekonomi yang lemah dan tidak berkelanjutan. Untuk itu aktor pemerintah harus dapat menempatkan birokrasi secara proporsional, transparan dengan semangat mencapai interaksi yang sejajar
Peran utama Pemerintah dalam pengembangan industri kreatif adalah:
1. Katalisator, fasilitator dan advokasi yang memberi rangsangan, tantangan, dorongan, agar ide‐ide bisnis bergerak ke tingkat kompetensi yang lebih tinggi. Tidak selamanya dukungan itu haruslah berupa bantuan finansial, insentif ataupun proteksi, tetapi dapat juga berupa komitmen pemerintah untuk menggunakan kekuatan politiknya dengan proporsional dan dengan memberikan pelayanan administrasi publik dengan baik;
2. Regulator yang menghasilkan kebijakan‐kebijakan yang berkaitan dengan people, industri, insititusi, intermediasi, sumber daya dan teknologi. Pemerintah dapat mempercepat perkembangan industri kreatif jika pemerintah mampu membuat kebijakan‐kebijakan yang menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri kreatif.
3. Konsumen, investor bahkan entrepreneur. Pemerintah sebagai investor harus dapat memberdayakan asset negara untuk menjadi produktif dalam lingkup industri kreatif dan bertanggung jawab terhadap investasi infrastruktur industri.
4. Urban planner. Kreativitas akan tumbuh dengan subur di kota kota yang memiliki iklim kreatif. Agar pengembangan ekonomi kreatif ini berjalan dengan baik, maka perlu diciptakan kota‐kota kreatif di Indonesia.
Pemerintah memiliki peran sentral dalam penciptaan kota kreatif (creative city), yang mampu mengakumulasi dan mengkonsentrasikan energi dari individu‐individu kreatif menjadi magnet yang menarik minat individu/perusahaan untuk membuka usaha di Indonesia. Ini bisa terjadi karena inidividu/perusahaan tersebut merasa yakin bisa berinvestasi secara serius (jangka panjang) di kota‐kota itu, karena melihat adanya potensi suplai SDM yang berpengetahuan tinggi yang bersirkulasi aktif di dalam daerah itu.

TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA

MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF



Model pengembangan industri kreatif adalah layaknya sebuah bangunan yang akan menguatkan ekonomi Indonesia, dengan landasan, pilar dan atap sebagai elemen‐elemen bangunan tersebut. Dengan model pengembangan industri kreatif ini, maka akan membawa industri kreatif Indonesia dari titik awal (origin point) menuju tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia 2030 (destination point).


AKTOR UTAMA MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF

Bangunan industri kreatif ini dipayungi oleh hubungan antara Intelektual (Intellectuals), Bisnis (Business) dan pemerintah (Government) yang disebut sebagai sistem triple helix yang merupakan aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi yang vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang dan bersimbiosis mutualisme antara ke‐3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan pilar‐pilar model industri kreatif akan menghasilkan industri kreatif yang berdiri kokoh dan berkesinambungan.

1. Intelektual (Intellectuals)

Intelektual adalah orang‐orang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mencari tujuan‐tujuan praktis, serta para moralis yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu (bukan dalam penerapan hasil‐hasilnya) .

Akan tetapi, dari definisi di atas, kecendekiawanan itu juga ditentukan dari keinginan menerapkan ilmu, dan menularkannya. Dalam konteks industri kreatif, cendekiawan mencakup budayawan, seniman, punakawan, begawan, para pendidik di lembaga‐lembaga pendidikan, para pelopor di paguyuban, padepokan, sanggar budaya dan seni, individu atau kelompok studi dan peneliti, penulis, dan tokoh‐tokoh lainnya di bidang seni, budaya (nilai, filsafat) dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan pengembangan industri kreatif.

Nama‐nama besar di dunia Barat seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Rene Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltair dan Montesquieu, adalah sebagian yang tergolong sebagai cendekiawan. Di Indonesia terdapat beberapa nama seperti Nurcholish Madjid, Emha A. Najib, Romo Mangun, Harry Roesli, Jakob Soemardjo, Rendra, Iwan Fals, Emil Salim, Sujiwo Tedjo, Ki Manteb, dan lain‐lain. Menilik kembali landasan industri kreatif yaitu sumber daya insani (people), dapat dikenali bahwa salah satu anggota pekerja berstrata inti super kreatif adalah pekerjaan dari para cendekiawan. Cendekiawan memiliki kapasitas yang sangat besar dalam memperkuat basis‐ basis formal dan informal dari inovasi, dan memiliki kemampuan untuk mematangkan konsep‐konsep inovasi dan juga memiliki kapasitas mendiseminasi informasi dengan jejaring di dunia internasional.

2. Bisnis (Business)

Bila ditilik secara ekonomi, bisnis (disebut juga perusahaan) adalah suatu entitas organisasi yang dikenali secara legal, dan sengaja diciptakan untuk menyediakan barang‐barang baik berupa produk dan jasa kepada konsumen. Bisnis pada umumnya dimiliki oleh swasta dan dibentuk untuk menghasilkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator bisnis bertujuan memperoleh keuntungan finansial sebagai hasil kerjanya dan tantangan resiko yang ia hadapi. Ketataniagaan bisnis diatur oleh hukum disuatu negara dimana bisnis itu berada. Bentuk‐bentuk bisnis adalah: kepemilikan tunggal, kemitraan, korporasi dan koperasi. Bisnis bisa berbasis manufaktur, jasa, eceran dan distribusi, pertanian, mineral, finansial, informasi, real estat, transportasi, dan utility seperti listrik, pengairan yang biasanya terkait dengan badan‐badan kepemerintahan.

Di dalam organisasinya, bisnis memiliki pengelompokan pekerjaan seperti pemasaran, penjualan, produksi, teknologi informasi, riset dan pengembangan. Manajemen berfungsi menerapkan operasional yang efisien dan efektif terhadap suatu bisnis. Pada saat‐saat tertentu, bisnis juga membutuhkan modal tambahan (capital), yang didapat dari pinjaman bank atau pinjaman informal atau investor baru. Bisnis juga harus dilengkapi dengan proteksi agar menghalangi kompetitor untuk menyaingi bisnis tersebut. Proteksi tersebut bisa dalam bentuk HKI yang terdiri dari paten, hakcipta, merek dagang dan desain.

Setiap bisnis pasti memiliki nama, logo dan teknik‐teknik pencitraan. Karena aspek kompetisi maka bisnis perlu mendaftarkan HKI di setiap daerah atau negara dimana terdapat kompetitor‐kompetitor. Banyak negara telah menandatangani perjanjian internasional tentang HKI, dan setiap perusahaan yang terdaftar di negara‐negara ini harus mentaati hukum negara yang telah terikat dengan perjanjian internasional ini. Bisnis bisa juga dijual dan dibeli. Pemilik bisnis menyebut ini sebagai exit‐plan. Exit‐plan yang lazim dikenali adalah seperti IPO atau merger dan akuisisi.

3. Pemerintah (Government)

Pemerintah didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang memiliki otoritas untuk mengelola suatu negara, sebagai sebuah kesatuan politik, atau aparat/alat negara yang memiliki badan yang mampu memfungsikan dan menggunakan otoritas/kekuasaan . Dengan ini, pemerintah memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang‐ undang di wilayah tertentu. Pemerintah yang dimaksud dalam studi rencana pengembangan ekonomi kreatif ini adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif, baik keterkaitan dalam substansi, maupun keterkaitan administrasi.

Pemerintah pusat meliputi departemen‐departemen dan badan‐badan. Pemerintah daerah meliputi pemerintah daerah tingkat I, pemerintah daerah tingkat II, sampai kepada hirarki terendah pemerintahan daerah. Sinergi antar departemen dan badan di pemerintah pusat, dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, sangat diperlukan untuk dapat mencapai visi, misi dan sasaran pengembangan industri kreatif ini. Hal ini disebabkan karena pengembangan ekonomi kreatif bukan hanya pembangunan industri, tetapi juga meliputi pembangunan ideologi, politik, sosial dan budaya. Keterlibatan pemerintah setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain; Kegagalan pasar (market failure), mobilisasi dan alokasi sumber daya, dampak psikologis dan dampak terhadap sikap/perilaku dan pemerataan pembangunan.










METODE PENELITIAN


Makalah ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan data-data sekunder eksternal yang diperoleh dari hasil Studi Industri kreatif 2009 yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Berdasarkan data-data tersebut penulis kemudian melakukan analisa model skematik mengenai peran intelektual dalam Triple Helix model pengembangan industri kreatif Indonesia secara deskriptif.

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

EKONOMI GELOMBANG KEEMPAT

Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave, membagi perkembangan sejarah peradaban manusia ke dalam gelombang-gelombang peradaban. Gelombang pertama adalah revolusi agrikultural, transformasi dari peradaban nomaden, berburu dan meramu menuju era pertanian dan hidup menetap. Gelombang kedua adalah revolusi industri, transformasi dari era pertanian menuju era industri. Gelombang ketiga adalah revolusi informasi dan komunikasi, transformasi dari era industri menuju era informasi. Menurut John Howkins, saat ini kita memasuki era yang dia sebut gelombang keempat peradaban, di mana ekonomi kreatif menjadi kunci utama.

Menurut John Howkins dalam The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, ekonomi kreatif diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Sedangkan, industri kreatif adalah industri yang berbasis kreativitas, keterampilan, dan talenta yang memiliki potensi peningkatan kesejahteraan serta penciptaan lapangan kerja dengan menciptakan dan mengeksploitasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Analoginya, ekonomi kreatif adalah rumahya, sedangkan industri kreatif adalah penghuninya.

KONTRIBUSI INDUSTRI KREATIF TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL

Menurut Studi Industri Kreatif 2009 yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan RI melalui Tim Indonesia Design Power, kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian nasional terus mengalami peningkatan dan berpotensi menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam tabel.



Demikian pula dalam hal persentase dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya, industri kreatif terus menunjukan perkembangan positif seperti ditunjukkan dalam grafik di bawah ini.




Akan tetapi, untuk mengakselerasi pertumbuhan industri kreatif agar terus berkontribusi secara positif terhadap perekonomian nasional atau bahkan menjadi lokomotif utama perekonomian nasional perlu upaya dan peran dari berbagai pihak terutama intelektual, bisnis dan pemerintah yang disebut sebagai Triple Helix dalam model pengembangan industri kreatif Indonesia.

PERAN INTELEKTUAL DALAM MODEL TRIPLE HELIX PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF

PERAN INTELEKTUAL DALAM MODEL TRIPLE HELIX
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF

ABSTRAK

Kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian nasional selama tahun 2002-2008 secara rata-rata terus mengalami peningkatan baik kontribusi terhadap PDB, ketenagakerjaan, perdagangan internasional, maupun aktifitas perusahaan. Dalam model pengembangan industri kreatif terdapat tiga aktor utama yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan industri kreatif di Indonesia, yaitu intelektual, bisnis dan pemerintah yang disebut sebagai Triple Helix. Faktanya, perguruan tinggi sebagai institusi utama penghasil kaum intelektual ternyata belum maksimal dalam memainkan peranannya, sehingga Indonesia kekurangan sumber daya manusia kreatif yang menjadi pondasi utama industri kreatif.

Kurikulum yang hanya berorientasi pada pembentukan kecerdasan kognitif semata dan mengabaikan bentuk-bentuk kecerdasan lainnya, lemahnya budaya riset untuk menghasilkan kreatifitas dan inovasi bernilai ekonomi tinggi yang berujung pada komersialisasi hasil riset tersebut dan terbatasnya pendidikan kewirausahaan menyebabkan perguruan tinggi hanya menghasilkan lulusan-lulusan yang inkompeten dan berwatak pencari-kerja. Oleh karena itu diperlukan suatu pemahaman yang lebih komprehensif oleh masing-masing pihak agar tercipta sebuah kolaborasi yang lebih sinergis dan saling menguntungkan antara ketiga aktor utama tersebut sehingga masing-masing pihak bisa lebih meningkatkan perannya sebagai penggerak utama industri kreatif di Indonesia.

Berdasarkan hasil Studi Industri Kreatif yang dilakukan oleh Tim Indonesia Design Power dan data-data dari hasil riset oleh peneliti lainnya makalah ini membahas dan menganalisa peran intelektual dalam model pengembangan industri kreatif di Indonesia dan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi melalui model Triple Helix pengembangan industri kreatif.

Kata Kunci: intelektual, Triple Helix, industri kreatif.

Senin, 08 November 2010

THE UNIVERSITY AND THE CREATIVE ECONOMY

A Review of A Paper by Richard Florida, Gary Gates, Brian Knudsen, and Kevin Stolarick (3)

THE UNIVERSITY AND THE CREATIVE ECONOMY

Dalam makalah ini Florida dan koleganya, menjelaskan secara lebih dalam dan lebih spesifik lagi mengenai peran penting universitas dalam ekonomi kreatif melalui lensa 3T pembangunan ekonomi, yaitu teknologi, talenta dan toleransi.

Untuk memperkuat argumennya dalam makalah ini Florida mengelaborasi beberapa hasil studi dan riset yang dilakukan oleh peneliti dan ekonom lainnya dengan indeks kreatifitas, trend transfer teknologi, pendirian perusahaan, brain drain/gain index dan toleransi.

Dalam hal teknologi, universitas memainkan peranan penting untuk transfer teknologi, riset dan pengembangan dan penemuan-penemuan ilmiah baru yang kemudian diikuti oleh pendirian perusahaan baru dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemeringkatan Riset dan Pengembangan Per Kapita seluruh universitas di Amerika Serikat yang dirancang oleh Florida bersama para koleganya di mana kemampuan sebuah wilayah untuk mengadopsi penemuan teknologi baru yang dihasilkan oleh universitas juga berperan penting, ini menyebabkan seringnya penemuan teknologi baru oleh sebuah universitas justru dimanfaatkan oleh wilayah lain yang berada di luar wilayah tempat universitas itu berada.

Sebagaimana argumen Ekonom pemenang hadiah Nobel, Robert Lucas bahwa pertumbuhan ekonomi bersumber dari kluster orang-orang bertalenta. Edward Glaesar, seperti dikutip Florida dalam makalah ini, menemukan hubungan erat antara pertumbuhan ekonomi dan modal manusia, dia menunjukan bahwa di mana perusahaan berlokasi bukan untuk mendekati pelanggan atau pemasok untuk meraih keunggulan -sebagaimana argumentasi kebanyakan ekonom- tetapi mereka berlokasi di mana ada konsentrasi para pekerja bertalenta untuk meraih keunggulan. Lebih jauh lagi hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Spencer Glendon yang menunjukkan bahwa universitas berkontribusi terhadap perekonomian melalui peningkatan modal manusia daripada melalui riset dan pengembangan.

Melalui Brain Drain/Gain Index Florida menjelaskan bahwa orang-orang bertalenta adalah orang-orang dengan mobilitas yang sangat tinggi, untuk itu penting bagi kita untuk memahami aliran bukan stok orang-orang bertalenta ini. Sementara universitas dan wilayah tertentu mengekspor orang-orang bertalentanya, yang lain justru mengimpornya dari wilayah dan universitas lain. Sehingga hanya universitas dan wilayah yang paling mampu menarik orang-orang bertalenta ini untuk studi dan tinggal di wilayahnyalah yang paling bisa memetik manfaat secara ekonomis dan sosial secara keseluruhan daripada universitas dan wilayah lainnya.

Yang tidak kalah pentingya yaitu T ketiga, toleransi. Maksudnya adalah keterbukaan terhadap orang-orang dan ide-ide baru di mana bukan hanya kehadiran mereka saja yang dihargai tetapi juga menganggap mereka sebagai bagian dari komunitas yang inklusif. Toleransi berkorelasi dengan jumlah mahasiswa yang ada di universitas, semakin terbuka dan toleran suatu universitas maka akan semakin banyak orang dari beragam status sosial, orientasi seksual, ras dan agama berbeda yang ada di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari ukuran korelasi toleransi dan universitas yang terdiri dari Indeks Toleransi, Indeks Titik-Temu, Indeks Gay dan Lesbian, Indeks Bohemian dan Indeks Integrasi yang dirancang oleh Florida dan Koleganya.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan jelas mengenai korelasi antara universitas dan kreatifitas wilayah, Florida mengembangkan Universitas-Kreatifitas Indeks (UCI) yang mengkombinasikan ukuran konsentrasi mahasiswa dengan hasil kerja kelas kreatif di wilayah tersebut. Dari Indeks ini Florida memproyeksikan bahwa masa depan wilayah yang mempunyai konsentrasi mahasiswa dan kelas kreatif akan memperoleh keuntungan dengan bekerja sama dengan wilayah lain yang mempunyai konsentrasi pusat komersial dan industri dengan skala dan ukuran yang sudah mapan sebagai peninggalan era industri manufaktur.

Di akhir makalahnya Florida menyimpulkan bahwa untuk menjadi kontributor yang berdampak luas pada kreatifitas regional, inovasi dan pertumbuhan ekonomi, maka universitas-universitas harus mengintegrasikan diri ke dalam ekosistem kreatif yang lebih luas. Universitas dan Kota harus bekerja sama untuk meningkatkan talenta, teknologi dan toleransi agar mampu menciptakan kemakmuran yang berkelanjutan dan meningatkatkan standar hidup masyarakatnya.

Paper lengkapnya bisa di download di:
http://www.creativeclass.com/article_library/category.php?catId=53

THE ROLE OF THE UNIVERSITY: LEVERAGING TALENT, NOT TECHNOLOGY

A Review of A Paper by Richard Florida (2)

THE ROLE OF THE UNIVERSITY:
LEVERAGING TALENT, NOT TECHNOLOGY

Dalam makalah ini, sekali lagi Florida menekankan pentingnya talenta daripada teknologi, di mana seharusnya universitas lebih fokus untuk meningkatkan talenta para mahasiswanya di samping terus meningkatkan teknologi sebagai enabler.

Paradigma lama era revolusi industri di mana universitas-universitas berlomba-lomba mendekatkan diri ke pusat industri layak dipertanyakan, karena pasar tenaga kerja berbasis pengetahuan berbeda dengan pasar tenaga pada umumnya di mana mereka lebih suka berada di sekitar lingkungan yang juga di penuhi orang-orang bertalenta seperti mereka.

Menurutnya, meskipun tidak ada yang salah dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong join riset, akan tetapi pandangan seperti ini kehilangan gambaran keseluruhan yang lebih besar, yaitu peran penting universitas sebagai sumber utama penciptaan kreasi dan talenta sebuah negara. Orang-orang bertalenta adalah sumber paling utama untuk ekonomi apapun, khususnya untuk ekonomi berbasis pengetahuan yang sekarang sedang berkembang pesat.
Hal yang jauh lebih signifikan dan krusial untuk dilakukan adalah meningkatkan daya serap lingkungan sekitar terhadap inovasi dan kreatifitas yang dihasilkan oleh universitas. Oleh karena itu mereka-para pembuat kebijakan-harus memperkuat kemampuan universitas untuk menarik sebanyak mungkin orang-orang bertalenta dari seluruh dunia. Dengan menarik orang-orang bertalenta secara acak dan mempublikasikan hasil kreasi dan inovasi mereka secara luas universitas akan memberikan dampak yang jauh lebih besar terhadap perekonomian lokal maupun nasional.

Universitas, bagaimanapun seperti halnya institusi lainnya membutuhkan pendanaan untuk meraih tujuan-tujuannya. Ada kecenderungan dasar antara mencapai misi universitas dan kebutuhan untuk meraih pendanaan di mana pendanaan dari perusahaan cenderung menimbulkan campur tangan berlebihan dan pembatasan terhadap publikasi ilmiah yang eksesif dengan dalih kewirausahaan akademis. Akan tetapi hal ini bukanlah fenomena baru, berdasarkan hasil riset yang di lakukan oleh Carnegie Melon University bahwa kecenderungan ini sudah dimulai sejak perang dunia ke dunia yang mengakibatkan riset-riset yang dihasilkan hanya demi melayani kepentingan perusahaan pendonor semata dan tidak berdampak secara luas terhadap perekonomian seperti diindikasikan oleh beberapa kasus yang melibatkan universitas-universitas besar dan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kimia dan permesinan.

Seperti dalam makalah sebelumnya, Florida berkesimpulan bahwa apabila negara atau pemerintah daerah serius ingin menjaga pertumbuhan ekonomi di era pengetahuan ini, maka mereka harus melakukan upaya serius lebih dari sekadar mempermudah komersialisasi hasil riset universitas tetapi juga harus berupaya membangun infrastruktur yang lebih kondusif untuk menarik talenta-talenta terbaik dari seluruh dunia.

Paper lengkapnya bisa di download di:
http://www.creativeclass.com/article_library/category.php?catId=53

ENGINE OR INFRASTRUCTURE? THE UNIVERSITY ROLE IN ECONOMIC DEVELOPMENT

A Review of A Paper by Richard Florida (1)

ENGINE OR INFRASTRUCTURE?
THE UNIVERSITY ROLE IN ECONOMIC DEVELOPMENT

Dalam makalah ini, Richard Florida mengkritik paradigma lama yang hanya menganggap universitas sekadar sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Padahal menurut penelitiannya dan beberapa koleganya, era ekonomi berbasis pengetahuan saat ini di mana pengetahuan menggantikan sumber daya alam dan industri padat modal sebagai sumber utama penciptaan kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi telah membuat peran universitas lebih penting dari sebelumnya, yaitu sebagai kolektor talenta yang mampu menarik orang-orang bertalenta paling kreatif dan inovatif dari seluruh dunia sehingga mampu menarik perusahaan-perusahan lama atau baru untuk beroperasi di sekitar universitas tersebut.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dan ekonom sebelumnya yang juga dikutip dalam makalah ini, Florida berkesimpulan bahwa kebanyakan para pebisnis, ekonom, peneliti, akademisi dan politisi berpandangan terlalu mekanistik dan simplistik tentang peran universitas dalam pembangunan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari hasil studi dan penelitian yang menunjukan bahwa hubungan yang terlalu erat antara universitas dan industri telah menimbulkan banyak permasalahan; misalnya, proporsi pendanaan oleh perusahaan yang lebih besar daripada pendanaan dari universitas itu sendiri atau bahkan lebih besar dari pendanaan yang diberikan oleh pemerintah untuk kegiatan riset dan pengembangan di universitas menyebabkan universitas semakin berorientasi kepada penelitian aplikatif yang cenderung lebih komersil dan bersifat jangka pendek daripada penelitian dasar yang memang cenderung kurang komersil tetapi bersifat lebih jangka panjang.

Di samping itu hal tersebut juga menyebabkan campur tangan yang berlebihan dari perusahaan, misalnya penundaan atau bahkan pelarangan publikasi hasil riset oleh universitas yang berdampak pada pengembangan ilmu pengetahuan dan juga masayarakat luas dengan alasan merugikan perusahaan apabila dipublikasikan secara luas sehingga bisa dikembangkan juga oleh perusahaan kompetitor.

Di akhir makalahnya, Florida menyimpulkan bahwa apabila pemerintah baik pusat maupun daerah ingin secara serius membangun kapasitas untuk bisa sukses atau sekadar bisa bertahan hidup dalam perekonomian berbasis pengetahuan dan di era kreatif ini, mereka harus keluar dari pandangan sempit tentang peran universitas hanya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi tetapi lebih dari itu sebagai institusi sosial dan ekonomis kompleks yang berperan penting terhadap perekonomian lokal dan nasional. Selain itu mereka juga harus membuat infrastruktur ini-universitas-baik di dalam maupun di sekitarnya menjadi lebih atraktif dan kondusif untuk menarik orang-orang bertalenta.

Paper lengkapnya bisa di download di:
http://www.creativeclass.com/article_library/category.php?catId=53

Kamis, 21 Oktober 2010

TULISAN 2 ETIKA BISNIS

PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Kata-kata "Perlindungan Konsumen" bukan lagi merupakan istilah atau kata baru dalam kehidupan kita sehari-hari. Undang-Undang Perlindungan Konsumen pun telah diundangkan sejak tahun 1999 di bawah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang tersebut pun telah diberlakukan sejak tanggal diundangkannya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia telah berdiri jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen dibidani dan dilahirkan. Namun demikian perlindungan konsumen di Indonesia masih jauh dari pengharapan.

Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman lagi bagi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia mengenai pentingnya perlindungan konsumen bagi semua, tidak hanya konsumen tetapi juga pelaku usaha, karena eksistensi atau keberadaan perlindungan konsumen yang baik akan menciptakan sustainability bagi pelaku usaha untuk jangka waktu yang panjang.

KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

Yang disebut dengan konsumen adalah "setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan ".

"Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang int adalah konsumen akhir".

Dalam Blakcs Law Dictionary edisi 6 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "Consumer in economics, is an individual who buys goods and services for personal use rather than for manufacture. It has been said that the consumer is the last person to whom property passes in the course of ownership and that this is the test of a retail transaction ".

Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa seorang konsumen adalah pengguna akhir dan suatu barang dan atau jasa, dengan tidak perlu memperhatikan apakah konsumen ini adalah pembeli barang dan atau jasa yang dipergunakan olehnya tersebut. Jika konsumen ini adalah pembeli barang dan atau jasa, maka dapat dipastikan bahwa konsumen adalah orang yang terakhir kali melakukan pembelian barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya mempergunakannya untuk keperluannya pribadi maupun keluarganya.

Selanjutnya yang dinamakan dengan Pelaku Usaha adalah "setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RepublikIndonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi".

PERLINDUNGAN KONSUMEN (DI INDONESIA)

Yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah "segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen . Dalam Black s Law Didtionary edisi 6 dikatakan bahwa "Consumer protection refers to laws designed to aid retail consumers of goods and services that have been improperly manufactured, delivered, performed, handled, or described. Such laws provide the retail consumer with additional protections and remedies not generally provided to merchant and others who engaged in business transactions, on the premise that consumers do not enjoy an arms-length" bargaining position with respect to the businessmen with whom they deal and therefore should not be strictly limited by the legal rules that govern recovery for damages among businessmen."

Jadi perlindungan konsumen ini adalah suatu upaya (dalam lapangan hukum) yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk menggunakan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu, hingga akibat yang terjadi setelah barang dan jasa tersebut dipergunakan oleh konsumen. Yang disebut terdahulu, yaitu upaya perlindungan pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa disebut upaya preventif; sedangkan upaya selanjutnya disebut dengan upaya kuratif.

Konsumen dilindungi dari setiap tindakan atau perbuatan dari produsen barang dan atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang dan jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan nama pelaku usaha.Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen, yaitu perlindungan priventlf dan perlindungan kuratif Perlindungan preventif adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli, atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.

Perlindungan kuratif adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen.Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.


PENUTUP

Demikianlah kiranya uraian sekilas mengenai makna konsumen dan pelaku usaha serta konsep perlindungan paling mendasar bagi konsumen, khususnya yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Konsumerisme

Pemaknaan istilah konsumtivisme dan konsumerisme jelas berbeda, sama hal orang menilai apa itu emas dan kuningan, tetapi kerap kali konsumtivisme di-sama-arti-kan dengan konsumerisme. Kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda maknanya. Dari kedua arti kata-kata tersebut jelas bahwa konsumerisme justru yang harus digalakkan dan konsumtivisme yang harus dijauhi.

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif (consumtive) adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.


Sedangkan konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa. Bila kita telesuri makna kata konsumtivisme maupun konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya -isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) ”mau ini-mau itu” dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) semakin subur dan berkembang amat cepat saja.

Masyarakat Konsumer

Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal - fase id struktur psikis manusia.

Haruki Murakami seorang penulis Jepang yang paling berhasil menangkap kombinasi unik antara konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) yang akut sekaligus kekosongan spiritual yang telah menjadi karakteristik kehidupan masyarakat Jepang selama 25 tahun terakhir. Lahir pada tahun 1949 di Kyoto dan dibesarkan di Kobe dalam keluarga yang berlatar belakang pendidikan, Murakami muda hidup sebagaimana kaum muda Jepang lainnya yang tergila-gila dengan kebudayaan Barat. Pada akhir tahun 1970-an, ia menerbitkan beberapa novelnya, seperti Pinball 1973 dan Norwegian Wood. Tokoh-tokoh utama dalam novel-novel tersebut secara gamblang digambarkan mengarungi kehidupan tanpa tujuan dalam tatanan masyarakat Jepang baru seusai Perang Dunia II, setara dengan kehidupan Holden Caulfield. Disajikan dalam gaya liris (walaupun kerap tidak berdampak apapun), cerita dalam novel-novel-nya menyorot kehidupan orang Jepang secara obsesif: seks bebas; musik, film, dan budaya pop Barat lainnya sebagai kiblat; dan kerap hanyut dalam nostalgia. Ia menjadi sasaran serangan para intelektual Jepang dengan cara dan dengan alasan yang hampir sama seperti yang dialami Brett Ellis dan Jay McInerney di Amerika selama tahun 1980-an. Para intelektual Jepang menyalahkan Murakami atas “pesan” yang disampaikannya. Kritik-kritik para intelektual Jepang berulang kali menyampaikan ketidaksukaan mereka terhadap isi karya fiksi-nya yang sukses menangkap dengan penuh kemurungan segala kehampaan, kekosongan spiritual, dan kebingungan dari shinjinrui (secara harfiah berarti “Ras Generasi Baru”) generasi muda Jepang masa itu yang tidak sanggup menemukan kepuasan personal dari kehidupan era konsumerisme yang hampa dan ketiadaan hasrat untuk berkomitmen terhadap pekerjaan, generasi muda yang tidak sanggup membayangkan cara membuat perubahan, bahkan cara menunjukkan ketidakpuasan mereka tersebut. Novel-novel-nya memperingatkan pembacanya akan bahaya hidup di masa kapitalisme terkini, seperti serangan informasi yang bertubi-tubi, tidak adanya relevansi antara nilai-nilai kemanusiaan dan spriritualitas di dunia yang didominasi oleh logika tidak humanis kapitalisme postindustrial, dan hilangnya kontak dengan keberadaan manusia lain.

Masyarakat konsumer disebut Jean Braudillard dengan masyarakat kapitalis mutakhir (Jean Braudillard, 2005) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, hal. 1997, hal. 24). Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas” atau ”masyarakat konsumer”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Proses Gaya Hidup

Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.

Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).

Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.

Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang “memaksa” untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.

Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi — dalam istilah Bre Redana — mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja

Budaya Konsumer

Pilliang mengemukakan bahwa: Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).

Masyarakat yang hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat. Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial. Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.

Budaya konsumerisme (dibaca : konsumtivisme) merupakan jantung dari kapitalisme, adalah sebuah budaya yang di dalamnya berbagai bentuk dusta, halusinasi, mimpi, kesemuan, artifisialitas, pendangkalan, kemasan wujud komoditi, melalui strategi hipersemiotika dan imagologi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme. Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics).
Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan.

Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum. Hipersemiotika tidak sekadar teori kedustaan, melainkan teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip pertentangan di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur perkembangan, fisika/meta-fisika, tanda/realitas dan sebagainya.

Prinsip ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika, antara lain: perubahan dan transformasi, sifat imanensi, perbedaan, permainan bahasa, simulai, dan diskontinuitas. Dengan demikian, dunia hipersemiotika tidak dapat dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan oleh Baudrillard, sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan benas tanda-tanda yang melampaui (hyper-sign), sebuah tanda yang melampaui prinsip, definisi, struktur, dan fungsinya sendiri. Prinsipnya hipersemiotika sama dengan poststrukturalisme, persamaan konsep kunci yang digunakan di dalamnya, namun berbeda pada penekanannya. Karena itu, dunia hiperealitas dapat dipandang sebagai dunia perekayasaan (dalam pengertian distorsi) realitas lewat hyper-sign, sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.

Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu - sehingga pada akhirnya membentuk kesadaran diri (self-consciousness) yang sesungguhnya adalah palsu. Dan kekuatan hipersemiotika dan hyper-sign merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti dalam arsitektur, desain, sastra, media, iklan, fashion, musik, film dan berbagai produk kebudayaan lain yang sangat luas.


HARTONO
10208573
3EA10

Selasa, 28 September 2010

Kinerja UKM yang dipengaruhi oleh tingkat suku bunga

Pendahuluan

Kebijakan moneter yang di kendalikan oleh pemerintah melalui tingkat suku bunga perbankan, merupakan suatu hanbatan bagi dunia usaha apabila tingkat suku bunga tidak dapat dikendalikan. Apabila otoritas bank sentral sebagai pengemban fungsi moneter mengeluarkan kebijakan konstraksi moneter akan menyebabkan naiknya suku bunga perbankan dan sebaliknya kebijakan ekspansi moneter menurunkan suku bunga perbankan. Sejarah perbankan Indonesia terlihat dari perjalanan sistem politik dan ekonomi Indonesia. Ketika era pemerintahan Orde Baru (Orba), otoritas moneter dibawah kendali langsung presiden, sehingga kebijakan moneter dapat menjadi instrumen presiden untuk kepentingan pembiayaan dunia usaha sesuai dengan keinginannnya Sampai akhir tahun 1970-an, sistem moneter Indonesia adalah fully under-controlled dengan rezim fixed interest rate. Kebijakan moneter belum mampu mempengaruhi pasar uang agar tingkat suku bunga komersil rendah. Oleh karena itu, suku bunga merupakan faktor penghambat akses UMKM terhadap perbankan dan sistem perbankan sekarang kurang tepat sebagai sumber pembiayaan UMKM. Agar aksesibilitas UMKM semakin tinggi terhadap lembaga perbankan maka sebaiknya perlu ada lembaga perbankan khusus untuk pembiayaan.

Sejarah perbankan Indonesia terlihat dari perjalanan sistem politik dan ekonomi Indonesia. Ketika era pemerintahan Orde Baru (Orba), otoritas moneter dibawah kendali langsung presiden, sehingga kebijakan moneter dapat menjadi instrumen presiden untuk kepentingan pembiayaan dunia usaha sesuai dengan keinginannnya. Sampai akhir tahun 1970-an, sistem moneter Indonesia adalah fully under-controlled dengan rezim fixed interest rate. Pembiayaan dunia usaha, usaha skala besar (milik pemerintah dan swasta) dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan mudah dapat diterapkan melalui perbankan dengan berbagai fasilitas moneter. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Kredit UMKM, seperti Bimas dan KUT, berjalan dengan suku bunga yang rendah adalah bentuk implementasi kebijakan moneter pemerintah pada waktu itu yang pada umumnya disambut baik oleh berbagai kalangan.

Tujuan Penelitian
Suku bunga masih menjadi penghambat utama UMKM dalam mengakses dana perbankan karena tingkatnya masih sangat tinggi. Tulisan ini mengemukakan bagaimana kredit perbankan masih menjadi penghambat pengembangan UMKM dengan melihat fluktuasi bulanan sukubunga tersebut dengan mencoba menggunakan analisis data berseri berdasarkan tingkat suku bunga aktual dan trend.

Kerangka Pemikiran
Suku bunga adalah harga uang, dan secara langsung mempengaruhi investasi (langsung dan portofolio), tabungan, kredit dan risiko, serta aliran modal. Semakin tinggi suku bunga semakin rendah investasi, dan sebaliknya. Dalam dimensi ekonomi makro, pengelolaan suku bunga merupakan tugas utama dari Bank Sentral Indonesia dengan menggunakan kebijakan moneter dan juga instrumen untuk pengendalian inflasi dan nilai tukar. Porsi kredit perbankan untuk UMKM masih sangat rendah dibandingkan perusahaan skala besar yang menunjukkan aksessibilitas UMKM terhadap perbankan masih rendah. Tingkat suku bunga perbankan Indonesia selama ini masih sangat tinggi sementara lembaga perbankan berstatus bank komersial yang mengikuti pergerakan pasar. Kebijakan moneter belum mampu mempengaruhi pasar uang agar tingkat suku bunga komersil rendah. Oleh karena itu, suku bunga merupakan faktor penghambat akses UMKM terhadap perbankan dan sistem perbankan sekarang kurang tepat sebagai sumber pembiayaan UMKM. Agar aksesibilitas UMKM semakin tinggi terhadap lembaga perbankan maka sebaiknya perlu ada lembaga perbankan khusus untuk pembiayaan UMKM.

Jumat, 28 Mei 2010

Ancaman Penetrasi Kebudayaan Imperialisme Terhadap Kebudayaan Indonesia

Ancaman Penetrasi Kebudayaan Imperialisme Terhadap Kebudayaan Indonesia


Dalam beberapa tahun ini kita melihat kebudayaan Indonesia semakin ditinggalkan oleh para generasi muda bangsa. Seni pertunjukan kesenian-kesenian daerah seperti wayang, tari-tarian, ataupun kesenian daerah lainnya yang mewakili unsur-unsur kehidupan masyarakat di dalamnya. Selama beberapa abad lamanya bangsa Indonesia telah mengalami apa itu yang disebut penetrasi kebudayaan Imperialisme. Tentulah kita bertanya apa itu imperialisme, imperialisme adalah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dan berkuasa dapat memegang kendali dalam hal pemerintahan, ekonomi ataupun kebudayaan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang yang bertujuan untuk mengambil untung sebesar-besarnya dari daerah yang telah dipelihara dan dikuasainya tersebut. Yang dimaksudkan disini mengenai Imperialisme kebudayaan adalah si imperialis tadi ingin menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain.

Dalam kebudayaan terletak suatu jiwa yang telah mendarah daging dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya suatu bangsa dapat diubah, maka berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa yang akan dikuasainya itu ataupun yang telah dikuasainya itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si Imperialis tadi. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya sangatlah mudah dan tidak terasa oleh bangsa yang akan ditundukkan kebudayaannya dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri dari belenggu imperialisme kebudayaan tadi. Penetrasi kebudayaan Imperialisme yang sekarang dilakukan oleh negara adikuasa kepada bangsa Indonesia mengalami perbedaan cara dengan apa yang dilakukan Bangsa kolonial dulu kepada bangsa Indonesia tetapi hakekatnya adalah sama yaitu menguasai Indonesia dengan cara melalui pendekatan imperialisme kebudayaan.

Pada masa penjajahan kolonial penetrasi Imperialisme itu dilakukan dengan cara Penetration violante atau masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak yang disertai dengan tindak kekerasan yang mengindahkan kemanusiaan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat sedangkan pada masa sekarang penetrasi yang dilakukan si Imperialis tadi tentunya berbeda, pada masa sekarang ini pola yang mereka gunakan adalah melalui peran media baik media elektronik ataupun massa yang menyokong imperialisme kebudayaan tersebut dan sifat dari penetrasi kebudayaan imperialisme itu sangat lunak dengan bertopeng kemanusiaan semu belaka. Kini kita dapat melihat secara gamblang akar dari budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun penetrasi budaya asing yang membawa bendera imperialisme adalah sesuatu hal yang dapat kita rasakan dan nyata kehadirannya pada kebudayaan bangsa kita.

Lihatlah betapa kita diatur untuk menjadi masyarakat konsumtif dengan terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris dan maritim di negeri Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang bercirikan penanaman modal ala Barat yang mengakibatkan persaingan yang bebas dalam hal ekonomi yang mengakibatkan jurang kelas sosial semakin tajam antara mereka yang kaya dan miskin. Semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal.

Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kebudayaan Timur. Selain itu pengaruh penetrasi kebudayaan yang dilakukan oleh imperialisme sejak masa kolonial sampai sekarang telah mengakibatkan rasa rendah diri, ketakutan, keseganan kepada bangsa imperialis serta meniru bangsa imperialis dalam menciptakan sesuatu bentuk seni dan budaya yang membabi buta sehingga seni dan budaya bangsa yang merupakan kebudayaan rakyat Indonesia otomatis akan memudar karena penetrasi kebudayaan imperialisme.

Sungguh ironis penulis katakan disini jika melihat realita yang ada sekarang ini. Pada masa dimana kebudayaan imperialisme semakin membentuk pohon dan akar yang kuat di tanah air Indonesia, orang Indonesia malah enggan belajar dan berangsur-angsur berpaling dari kebudayaan Indonesia. Mereka terhanyut oleh kebudayaan imperialisme yang si imperialis tadi suntikkan kepada jiwa kita, nahasnya orang yang bukan bangsa Indonesia malah belajar dan melestarikan kebudayaan bangsa Indonesia. Ada kalanya kita marah jika kebudayaan kita diambil dan diaku oleh negara dan bangsa lain tapi dilain pihak kita juga harus berkaca diri, seberapa pedulikah kita kepada kebudayaan kita sendiri, kebudayaan Indonesia?

Yang harus kita lakukan dalam melakukan perlawanan terhadap penetrasi kebudayaan imperialisme adalah dengan belajar kebudayaan bangsa sendiri dan melestarikan kebudayaan bangsa. Sekarang saatnya kita menanam kembali kebudayaan kita dan menikmati buah dari kebudayaan kita esok hari untuk anak cucu kita agar semua yang kita kerjakan dan perjuangan dalam menegakkan kebudayaan rakyat Indonesia yang berkeperibadian luhur untuk kemanusiaan sebagaimana tercita-cita dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka tanpa campur tangannya kapitalisme, imperialisme serta liberalisme dapat segera terwujud. Kebudayaan bangsa Indonesia dapat selalu lestari dan abadi dalam taman sarinya hati dan jiwa nasional rakyat Indonesia serta sudah saatnya kita untuk tidak malu berkata ”Ini budayaku, budaya bangsaku yang telah menyatu dalam jiwa dan ragaku untuk diteruskan anak cucuku!.”

Otonomi daerah

Otonomi daerah

Pendahuluan
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yadalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

sumber: id.wikipedia.org

Kapitalisme Religius?

Kapitalisme Religius?
Oleh Luthfi Assyaukanie


Saya lebih senang menggunakan kata ‘liberal’ daripada ‘kapitalis’ dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih ‘netral’ dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.

DALAM sebuah simposium tentang Pemikiran Nurcholish Madjid di Universitas Paramadina (18/3), Bahtiar Effendy menyatakan bahwa Cak Nur, lebih tepat disebut sebagai seorang ‘kapitalis religius’ daripada ‘sosialis religius.’

Pandangan Bachtiar yang lugas itu saya kira benar belaka. Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pemikir liberal muslim dalam hal politik-keagamaan yang juga bersikap liberal dalam masalah-masalah ekonomi. Meski tak banyak berbicara tentang pemikiran ekonomi karena memang bukan bidangnya, pandangan-pandangan keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat kepada liberalisme ketimbang sosialisme.

Saya lebih senang menggunakan kata ‘liberal’ daripada ‘kapitalis’ dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih ‘netral’ dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.

Pemikiran ekonomi adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana ‘islamisasi ekonomi’ yang lebih bersifat ideologi ketimbang ilmu.

Saya menganggap pernyataan seperti yang diungkapkan Bahtiar Effendy di atas penting untuk menyadarkan kita semua bahwa pemahaman ekonomi dalam pemikiran Islam di Indonesia sangat beragam. Tidak seperti yang disangka banyak orang, sikap kaum Muslim terhadap isu ekonomi tak hanya satu, yakni sikap ekonomi yang sosialistis.
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan sosialisme. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme. Atau malah juga terkait erat dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang memang sangat didominasi oleh pemikiran kiri (baca; sosialis).

Citra bahwa Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisah telah disemai sejak Tjokroaminoto, bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto adalah intelektual Islam pendukung sosialisme.

Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang ‘sosialis religius’. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Simaklah tulisan-tulisan para intelektual semacam Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Amien Rais, dan Kuntowijoyo.


Dalam konteks ini, Cak Nur adalah pengecualian. Tidak seperti para intelektual Islam yang disebut di atas, ia bersikap liberal baik dalam pemikiran politik-keagamaan maupun dalam hal pemikiran ekonomi. Yang saya maksud dengan liberal di sini adalah sikap dasar dalam memberikan toleransi yang besar kepada mekanisme pasar dan independensi masyarakat dari negara.

‘Sekularisasi’ ekonomi. Jika kita mengamati tulisan-tulisan Cak Nur yang berkaitan dengan isu Islam dan ekonomi, sangat jelas sekali pesan yang ingin disampaikannya, yakni bahwa Islam tidak mengurusi hal-hal detil tentang ekonomi. Sebetulnya, ini adalah perluasan dari sikap dasar dia dalam hal politik-keagamaan, yakni bahwa Islam tak mengurusi hal-hal detil tentang politik.

Sikap dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan mengapa Rektor Paramadina itu, misalnya, menolak gagasan ‘ekonomi Islam’. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Dawam Rahardjo, yang jelas-jelas mendukung ekonomi Islam. Bahkan Dawam mendukung ekonomi Islam versi yang sangat ideologis, yakni ekonomi Islam yang dikembangkan oleh IIIT (International Institute of Islamic Thought), lembaga Islam yang banyak didanai Arab Saudi, dan dikenal dengan proyek islamisasi ilmunya. Dawam adalah Direktur IIIT cabang Indonesia.

Sikap dasar di atas sangat penting untuk melihat bagaimana penyikapan terhadap hubungan agama dan negara berpengaruh dan memiliki korelasi positif terhadap hubungan ekonomi dan negara. Intelektual seperti Cak Nur adalah orang yang memiliki sikap tegas tentang hubungan agama dan negara. Sejak lama ia dikenal sebagai penganjur sekularisasi atau pemisahan agama dari negara.

Buat dia, agama sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan-urusan negara, dan begitu juga sebaliknya, negara sebaiknya jangan mencampuri urusan agama. Jika diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, kaidah ini berarti bahwa harus ada pemisahan antara negara dan pasar atau negara dan ekonomi masyarakat. Negara tidak berhak mengatur bagaimana pasar bekerja, sebagaimana pasar juga tidak semestinya ‘meminta pertolongan’ dari negara untuk diatur.

Penting untuk dicatat di sini bahwa intelektual yang memiliki sikap tegas terhadap sekularisasi politik (pemisahan negara dan agama) juga memiliki sikap yang tegas dalam ‘sekularisasi’ ekonomi (pemisahan negara dan pasar). Cak Nur dikenal sebagai pendukung setia sekularisasi politik, dan karenanya, dalam masalah ekonomi, juga tak memiliki beban untuk menerapkan prinsip sekularisasi itu. Sementara para intelektual yang menolak atau minimal ragu-ragu dalam mendukung tesis sekularisasi politik, juga akan mengalami persoalan (baca; penolakan) ketika berbicara tentang ‘sekularisasi’ ekonomi.

Dalam beberapa tulisannya dan juga wawancara saya dengannya, Dawam menolak ide sekularisasi dan menolak gagasan pemisahan agama dari negara. Menurutnya, negara harus menjadi pelindung dan pengayom agama. Tanpa negara, ajaran-ajaran agama tak akan bisa berjalan dengan baik. Sikap pro-negara seperti itu, tidak kita temukan pada Cak Nur yang sepenuhnya mendukung gagasan sekularisasi. Buat dia, peran negara bukanlah sebagai pengatur dan penentu arah jalannya ekonomi. Pasar harus dibiarkan bebas, dan kompetisi harus dijunjung tinggi sebagai elemen positif dalam pembangunan ekonomi.

Dalam buku terbarunya, Indonesia Kita, yang banyak membahas persoalan politik dan kenegaraan, Cak Nur menguraikan tentang pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi. (Indonesia Kita, hlm 131).

Tanpa perlu dikatakan, Cak Nur selalu menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai cita-cita politik Islam. Hanya saja, berbeda dari para pendukung ‘ekonomi sosialis’ atau ‘ekonomi kerakyatan,’ keadilan dan kesejahteraan ini harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang fair dan bebas. Kalaupun ia harus diterjemahkan menjadi negara kesejahteraan (welfare state), maka hal itu haruslah dibangun di atas landasan ekonomi liberal, seperti negara-negara kesejahteraan di Eropa melakukannya.[]

Kamis, 18 Maret 2010

DRUPADI

DRUPADI


MEY

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebentuk jalinan asmara. Pacaran? Hampir setiap malam aku tidur bersamamu. Pernikahan? Sampai detik ini kita berdua belum punya surat nikah karena tidak terdaftar di KUA manapun. Lima tahun juga bukan waktu yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Sejauh ini aku merasa belum benar-benar memahami jalan pikiranmu, begitupun kau, selalu berpikir betapa sulitnya mengerti bagaimana perasaanku sesungguhnya.

Aku cuma ingin kau segera melamarku dan menikahiku secara resmi secepatnya. Tetapi, kau terus saja menunggu sampai dunia ini jadi milikmu, hanya sekadar untuk membuatmu yakin bahwa dengan begitu, aku tidak akan pernah bisa berpaling darimu.

Kamu salah besar, Januar. Kamu tidak perlu memberikan dunia beserta seluruh isinya kalau hanya untuk membahagiakan seorang perempuan, kau hanya perlu membuatnya merasa menjadi perempuan paling bahagia dan beruntung di dunia dengan memberikan dirimu seutuhnya. Cukup. Titik.

Kau tetap saja keras kepala.

“Sebaiknya, kita berpisah sementara, Mey, beri aku waktu untuk berpikir apakah kita akan melanjutkan hubungan ini atau hanya sampai di sini saja!” ucapanmu malam itu masih terngiang-ngiang di kepalaku sampai detik ini dan itu adalah kesekian kalinya kau mengucapkannya kepadaku.

Aku remuk. Hilang bentuk. Aku runtuh. Hancur seluruh.

…jadi jangan salahkan aku kalau malam ini, aku menghabiskan sisa hariku dalam pelukan lelaki lain. Aku sungguh tak ingin pulang dan tidur bersamamu malam ini. Maafkan aku, Januar! Ucapku lirih dalam hati.

“Hey, kenapa kamu bengong, mey?” tanya Okto membuyarkan lamunanku.

“Gak apa-apa, aku cuma lagi mikir mau pulang naik apa, jam segini pasti sudah nggak ada angkutan umum yang lewat” jawabku sekenanya.

“Yaudah, kalo gitu, aku antar kamu pulang sekarang, Mey, lagipula sudah jam 3 pagi, sebentar lagi Kafe ini tutup, jam 5 pagi” tanya Okto lagi.

“Aku tidak ingin pulang ke rumah jiwaku yang lama: Januar, sudah hancur berantakan. Aku ingin pergi menuju rumah jiwaku yang baru: kamu, Okto.”
Pinta batinku lirih berbisik

“Okto, Boleh, aku menginap di rumahmu pagi ini” tanyaku ragu.

Okto tak menjawab. Membatu diam. Tetapi bagiku itu adalah jawaban iya yang implisit.

Percakapan kami berlanjut panjang hingga kafe itu tutup jam 5 pagi. Seperti halnya Okto yang tidak pernah suka jika ditanya tentang kuliahnya yang tidak pernah selesai, padahal dia termasuk mahasiswa cerdas yang kalau dia mau, sebenarnya bisa saja dia menyelesaikan skripsinya dan ikut wisuda tahun ini, begitupun aku yang selalu hanya bilang “tidak jelas” jika ditanya tentang hubunganku dengan Januar saat ini.

*****

JANUAR

Mimpi itu datang lagi untuk kesekian kalinya: tentang Mey yang bersuami dua, aku dan lelaki bajingan terpelajar itu.

Maafkan aku, Mey! Kau di mana sekarang, sayang? Ponselmu mati. Pesan pendekku tak kunjung kau balas.

Bersamanyakah kau saat ini?

Mimpi itu membuatku terjaga sepanjang malam. Memaku diri di depan lukisan Drupadi itu. Terpajang tepat di atas tempat tidurku. Lukisan seorang perempuan yang kata si pembuatnya adalah Drupadi.

“Anggap saja sebagai kenang-kenangan sekaligus ramalanku tentang perempuanku yang akan kau cintai kelak di kemudian hari” kata sang seniman pencipta lukisan itu, teman kuliahku di jogja, sehari sebelum aku pergi meninggalkan jogja dan kuliahku.

Yang paling kukagumi dari temanku sang seniman lukis itu adalah kemampuan intuitifnya dalam menerka masa depan yang nyaris sempurna, tanpa meleset sedikitpun. Aku tidak percaya sedikitpun kata-katanya ketika itu. Seni adalah seni. Mistik adalah mistik.

Aku salah. Lukisan perempuan yang dinamai Drupadi itu, secara keseluruhan benar-benar mirip Mey, hampir seratus persen sama, hanya busananya saja yang berbeda. Itulah alasan mengapa kini lukisan itu berada tepat di atas tempat tidurku, karena aku selalu berharap perempuan secantik dan semisterius itulah yang akan selalu berada disisiku ketika kali pertama aku membuka mata setiap pagi tiba.

“Kau tampak seperti seorang pencari ilmu sejati, Januar. Kabar buruknya, kau tidak akan mendapatkannya di bangku kuliah. Karenanya aku tidak akan heran, kalau nanti kau tidak akan pernah menyelesaikan kuliahmu. Kabar baiknya, kau bakal jadi seorang pembelajar sejati seumur hidup. Dan hebatnya lagi, kau tidak akan pernah kesulitan dalam urusan harta, tetapi kau harus hati-hati dengan perempuan, itulah satu-satunya ujian terberat dalam hidupmu” itulah kata pengantar perkenalan sang seniman lukis itu ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Jogja.

Sialan. Lagi-lagi ramalan si seniman lukis jenius tapi gila itu benar terbukti keakuratannya.

“Kamu dari mana saja, Mey? Jam segini baru pulang?” todong Januar kepada Mey yang tiba-tiba muncul di rumah Januar pagi-pagi buta.

“Aku capek, mau tidur, kita bahas besok saja”

Kelelahan. Mey langsung terlelap di kamar Januar.

Akumulasi antara kehabisan kata-kata dan ketidaktegaan melihat Mey yang tampak sangat kelelahan membuat Januar hanya duduk terpaku. Lama. Diam. Termangu disamping Mey yang nyenyak.

Bau parfum lelaki di pakaian Mey tidak dapat menipunya. Mungkin segelas air putih dingin bisa sedikit menenangkannya.

Usai meneguk setengah gelas air putih dingin di kulkas dekat dapur, dengan gelas kaca masih ditangannya, Januar kembali ke kamarnya, dan kali ini dia tidak sedang bermimpi ketika mendengar Mey mengigau sambil berkata…

“Januar memang lelaki paling baik dan bertanggung jawab yang pernah kukenal, tetapi dalam urusan memahami dan bagaimana membahagiakan perempuan kau jauh lebih cerdas darinya, Okto. Itulah kelemahan terbesarnya. Dan entah mengapa aku selalu merasa lebih nyaman ketika berada dalam pelukanmu, Okto”

Januar tersentak mendengarnya. Igauan Mey menyulut kembali api yang sejak tadi berusaha diredam Januar.

Pengakuan yang tercipta dari alam bawah sadar adalah sejujur-jujurnya pernyataan. Kali ini Januar bisa memahami dan meyakini kebenaran teori Psikoanalisa Freud.

Gelas kaca masih ditangannya. Setengah terisi. Januar kembali teringat mimpinya tentang Mey yang berubah menjadi Drupadi dan bersuami dua. Lukisan Drupadi di atas tempat tidurnya tiba-tiba tersenyum persis seperti senyuman misterius Monalisa. Senyum getir. Senyum sindir. Senyum culas. Senyum puas. Sama seperti senyum Mey yang terlelap disisinya kini.

Darahnya semakin mendidih. Emosinya tak terkendali. Ia lemparkan gelas kaca ditangannya ke lukisan drupadi yang tersenyum mengejek kepadanya itu.

Mey terjaga. Tersentak. Terkejut oleh suara gelas kaca pecah tepat di atas kepalanya. Tetapi tak mampu bergerak sedikitpun dalam dekapan erat Januar yang langsung menempelkan pecahan gelas kaca itu di leher Mey.

“Mey, semalam kamu tidur di mana, sayang?”

“Aku tidur di…”

…Darah segar mengalir dari leher jenjang Mey yang indah sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya…

Januar tak lupa memberikan kecupan perpisahan di kening perempuan yang sangat dicintainya itu. Lalu bergegas pergi ke luar rumah dan meninggalkan Mey yang sudah tak bernyawa…

*****

OKTO

Mey. Perempuan cantik paling intelek yang pernah dikencaninya. Sulit menemukan perempuan sepertinya, itulah alasan mengapa hingga berusia kepala tiga Okto belum juga menikah.

Pagi ini Okto sangat lelah tapi tak bisa memejamkan mata, seolah ingin saat-sat Mey berada dalam pelukannya tidak akan pernah berakhir.

Okto belum selesai mengaduk kopi hitam hasil racikannya ketika tiba-tiba seseorang mendobrak pintu rumahnya yang terkunci sampai jebol.

Tanpa banyak basa-basi. Januar langsung mengarahkan sepucuk pistol tepat ke arah Okto yang masih terkejut dan tak mampu berkutik sedikitpun.

Bunyi letusan senjata api memecah keheningan pagi terindah dalam hidup Okto.

Aku bukan Arjuna yang rela berbagi seorang Drupadi dengan keempat saudaranya. Seolah berbagi harta rampasan perang. Kita bukan Lima Pandawa yang harus selalu menuruti apa yang dikatakan Kunti. Kita hidup di bumi, bukan di kahyangan, aku hanya seekor primata berjalan tegak yang bertindak rasional ketika betina pasangannya direbut primata lainnya.

“Semalam kau tidur dengan siapa, Okto?”



Hartono Mustafa Hamdani. Bekasi. 18 Maret 2010. 04:49