Jumat, 28 Mei 2010

Ancaman Penetrasi Kebudayaan Imperialisme Terhadap Kebudayaan Indonesia

Ancaman Penetrasi Kebudayaan Imperialisme Terhadap Kebudayaan Indonesia


Dalam beberapa tahun ini kita melihat kebudayaan Indonesia semakin ditinggalkan oleh para generasi muda bangsa. Seni pertunjukan kesenian-kesenian daerah seperti wayang, tari-tarian, ataupun kesenian daerah lainnya yang mewakili unsur-unsur kehidupan masyarakat di dalamnya. Selama beberapa abad lamanya bangsa Indonesia telah mengalami apa itu yang disebut penetrasi kebudayaan Imperialisme. Tentulah kita bertanya apa itu imperialisme, imperialisme adalah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dan berkuasa dapat memegang kendali dalam hal pemerintahan, ekonomi ataupun kebudayaan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang yang bertujuan untuk mengambil untung sebesar-besarnya dari daerah yang telah dipelihara dan dikuasainya tersebut. Yang dimaksudkan disini mengenai Imperialisme kebudayaan adalah si imperialis tadi ingin menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain.

Dalam kebudayaan terletak suatu jiwa yang telah mendarah daging dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya suatu bangsa dapat diubah, maka berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa yang akan dikuasainya itu ataupun yang telah dikuasainya itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si Imperialis tadi. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galanya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya sangatlah mudah dan tidak terasa oleh bangsa yang akan ditundukkan kebudayaannya dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri dari belenggu imperialisme kebudayaan tadi. Penetrasi kebudayaan Imperialisme yang sekarang dilakukan oleh negara adikuasa kepada bangsa Indonesia mengalami perbedaan cara dengan apa yang dilakukan Bangsa kolonial dulu kepada bangsa Indonesia tetapi hakekatnya adalah sama yaitu menguasai Indonesia dengan cara melalui pendekatan imperialisme kebudayaan.

Pada masa penjajahan kolonial penetrasi Imperialisme itu dilakukan dengan cara Penetration violante atau masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak yang disertai dengan tindak kekerasan yang mengindahkan kemanusiaan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat sedangkan pada masa sekarang penetrasi yang dilakukan si Imperialis tadi tentunya berbeda, pada masa sekarang ini pola yang mereka gunakan adalah melalui peran media baik media elektronik ataupun massa yang menyokong imperialisme kebudayaan tersebut dan sifat dari penetrasi kebudayaan imperialisme itu sangat lunak dengan bertopeng kemanusiaan semu belaka. Kini kita dapat melihat secara gamblang akar dari budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun penetrasi budaya asing yang membawa bendera imperialisme adalah sesuatu hal yang dapat kita rasakan dan nyata kehadirannya pada kebudayaan bangsa kita.

Lihatlah betapa kita diatur untuk menjadi masyarakat konsumtif dengan terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris dan maritim di negeri Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang bercirikan penanaman modal ala Barat yang mengakibatkan persaingan yang bebas dalam hal ekonomi yang mengakibatkan jurang kelas sosial semakin tajam antara mereka yang kaya dan miskin. Semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal.

Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan kebudayaan Timur. Selain itu pengaruh penetrasi kebudayaan yang dilakukan oleh imperialisme sejak masa kolonial sampai sekarang telah mengakibatkan rasa rendah diri, ketakutan, keseganan kepada bangsa imperialis serta meniru bangsa imperialis dalam menciptakan sesuatu bentuk seni dan budaya yang membabi buta sehingga seni dan budaya bangsa yang merupakan kebudayaan rakyat Indonesia otomatis akan memudar karena penetrasi kebudayaan imperialisme.

Sungguh ironis penulis katakan disini jika melihat realita yang ada sekarang ini. Pada masa dimana kebudayaan imperialisme semakin membentuk pohon dan akar yang kuat di tanah air Indonesia, orang Indonesia malah enggan belajar dan berangsur-angsur berpaling dari kebudayaan Indonesia. Mereka terhanyut oleh kebudayaan imperialisme yang si imperialis tadi suntikkan kepada jiwa kita, nahasnya orang yang bukan bangsa Indonesia malah belajar dan melestarikan kebudayaan bangsa Indonesia. Ada kalanya kita marah jika kebudayaan kita diambil dan diaku oleh negara dan bangsa lain tapi dilain pihak kita juga harus berkaca diri, seberapa pedulikah kita kepada kebudayaan kita sendiri, kebudayaan Indonesia?

Yang harus kita lakukan dalam melakukan perlawanan terhadap penetrasi kebudayaan imperialisme adalah dengan belajar kebudayaan bangsa sendiri dan melestarikan kebudayaan bangsa. Sekarang saatnya kita menanam kembali kebudayaan kita dan menikmati buah dari kebudayaan kita esok hari untuk anak cucu kita agar semua yang kita kerjakan dan perjuangan dalam menegakkan kebudayaan rakyat Indonesia yang berkeperibadian luhur untuk kemanusiaan sebagaimana tercita-cita dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka tanpa campur tangannya kapitalisme, imperialisme serta liberalisme dapat segera terwujud. Kebudayaan bangsa Indonesia dapat selalu lestari dan abadi dalam taman sarinya hati dan jiwa nasional rakyat Indonesia serta sudah saatnya kita untuk tidak malu berkata ”Ini budayaku, budaya bangsaku yang telah menyatu dalam jiwa dan ragaku untuk diteruskan anak cucuku!.”

Otonomi daerah

Otonomi daerah

Pendahuluan
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yadalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:
1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:
1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

sumber: id.wikipedia.org

Kapitalisme Religius?

Kapitalisme Religius?
Oleh Luthfi Assyaukanie


Saya lebih senang menggunakan kata ‘liberal’ daripada ‘kapitalis’ dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih ‘netral’ dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.

DALAM sebuah simposium tentang Pemikiran Nurcholish Madjid di Universitas Paramadina (18/3), Bahtiar Effendy menyatakan bahwa Cak Nur, lebih tepat disebut sebagai seorang ‘kapitalis religius’ daripada ‘sosialis religius.’

Pandangan Bachtiar yang lugas itu saya kira benar belaka. Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pemikir liberal muslim dalam hal politik-keagamaan yang juga bersikap liberal dalam masalah-masalah ekonomi. Meski tak banyak berbicara tentang pemikiran ekonomi karena memang bukan bidangnya, pandangan-pandangan keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat kepada liberalisme ketimbang sosialisme.

Saya lebih senang menggunakan kata ‘liberal’ daripada ‘kapitalis’ dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih ‘netral’ dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.

Pemikiran ekonomi adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana ‘islamisasi ekonomi’ yang lebih bersifat ideologi ketimbang ilmu.

Saya menganggap pernyataan seperti yang diungkapkan Bahtiar Effendy di atas penting untuk menyadarkan kita semua bahwa pemahaman ekonomi dalam pemikiran Islam di Indonesia sangat beragam. Tidak seperti yang disangka banyak orang, sikap kaum Muslim terhadap isu ekonomi tak hanya satu, yakni sikap ekonomi yang sosialistis.
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan sosialisme. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme. Atau malah juga terkait erat dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang memang sangat didominasi oleh pemikiran kiri (baca; sosialis).

Citra bahwa Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisah telah disemai sejak Tjokroaminoto, bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto adalah intelektual Islam pendukung sosialisme.

Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang ‘sosialis religius’. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Simaklah tulisan-tulisan para intelektual semacam Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Amien Rais, dan Kuntowijoyo.


Dalam konteks ini, Cak Nur adalah pengecualian. Tidak seperti para intelektual Islam yang disebut di atas, ia bersikap liberal baik dalam pemikiran politik-keagamaan maupun dalam hal pemikiran ekonomi. Yang saya maksud dengan liberal di sini adalah sikap dasar dalam memberikan toleransi yang besar kepada mekanisme pasar dan independensi masyarakat dari negara.

‘Sekularisasi’ ekonomi. Jika kita mengamati tulisan-tulisan Cak Nur yang berkaitan dengan isu Islam dan ekonomi, sangat jelas sekali pesan yang ingin disampaikannya, yakni bahwa Islam tidak mengurusi hal-hal detil tentang ekonomi. Sebetulnya, ini adalah perluasan dari sikap dasar dia dalam hal politik-keagamaan, yakni bahwa Islam tak mengurusi hal-hal detil tentang politik.

Sikap dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan mengapa Rektor Paramadina itu, misalnya, menolak gagasan ‘ekonomi Islam’. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Dawam Rahardjo, yang jelas-jelas mendukung ekonomi Islam. Bahkan Dawam mendukung ekonomi Islam versi yang sangat ideologis, yakni ekonomi Islam yang dikembangkan oleh IIIT (International Institute of Islamic Thought), lembaga Islam yang banyak didanai Arab Saudi, dan dikenal dengan proyek islamisasi ilmunya. Dawam adalah Direktur IIIT cabang Indonesia.

Sikap dasar di atas sangat penting untuk melihat bagaimana penyikapan terhadap hubungan agama dan negara berpengaruh dan memiliki korelasi positif terhadap hubungan ekonomi dan negara. Intelektual seperti Cak Nur adalah orang yang memiliki sikap tegas tentang hubungan agama dan negara. Sejak lama ia dikenal sebagai penganjur sekularisasi atau pemisahan agama dari negara.

Buat dia, agama sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan-urusan negara, dan begitu juga sebaliknya, negara sebaiknya jangan mencampuri urusan agama. Jika diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, kaidah ini berarti bahwa harus ada pemisahan antara negara dan pasar atau negara dan ekonomi masyarakat. Negara tidak berhak mengatur bagaimana pasar bekerja, sebagaimana pasar juga tidak semestinya ‘meminta pertolongan’ dari negara untuk diatur.

Penting untuk dicatat di sini bahwa intelektual yang memiliki sikap tegas terhadap sekularisasi politik (pemisahan negara dan agama) juga memiliki sikap yang tegas dalam ‘sekularisasi’ ekonomi (pemisahan negara dan pasar). Cak Nur dikenal sebagai pendukung setia sekularisasi politik, dan karenanya, dalam masalah ekonomi, juga tak memiliki beban untuk menerapkan prinsip sekularisasi itu. Sementara para intelektual yang menolak atau minimal ragu-ragu dalam mendukung tesis sekularisasi politik, juga akan mengalami persoalan (baca; penolakan) ketika berbicara tentang ‘sekularisasi’ ekonomi.

Dalam beberapa tulisannya dan juga wawancara saya dengannya, Dawam menolak ide sekularisasi dan menolak gagasan pemisahan agama dari negara. Menurutnya, negara harus menjadi pelindung dan pengayom agama. Tanpa negara, ajaran-ajaran agama tak akan bisa berjalan dengan baik. Sikap pro-negara seperti itu, tidak kita temukan pada Cak Nur yang sepenuhnya mendukung gagasan sekularisasi. Buat dia, peran negara bukanlah sebagai pengatur dan penentu arah jalannya ekonomi. Pasar harus dibiarkan bebas, dan kompetisi harus dijunjung tinggi sebagai elemen positif dalam pembangunan ekonomi.

Dalam buku terbarunya, Indonesia Kita, yang banyak membahas persoalan politik dan kenegaraan, Cak Nur menguraikan tentang pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi. (Indonesia Kita, hlm 131).

Tanpa perlu dikatakan, Cak Nur selalu menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai cita-cita politik Islam. Hanya saja, berbeda dari para pendukung ‘ekonomi sosialis’ atau ‘ekonomi kerakyatan,’ keadilan dan kesejahteraan ini harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang fair dan bebas. Kalaupun ia harus diterjemahkan menjadi negara kesejahteraan (welfare state), maka hal itu haruslah dibangun di atas landasan ekonomi liberal, seperti negara-negara kesejahteraan di Eropa melakukannya.[]