Selasa, 27 Maret 2012

FIRST TASK OF ENGLISH BUSINESS 2

ENGLISH BUSINESS 2
(SOFTSKILL ASSIGNMENT)

HARTONO
10208573
4EA14

First task

1. My first experience dealing with English

THE DEBATE
:we do not have to win every battle to win a war.

It is hard for me to remember when was exactly my really first dealing with English, maybe just like everybody else, it was in elementary school, but I am not really sure what grade it was? Moreover, there was nothing special at that time.

So, I prefer to share my unforgettable experience dealing with English when I was in High School. The story begins when My English Mentor, Mr. Ilham, ask me and my classmate, Diki, to participated as a team in a English debate contest that organized by our school, then both of us agreed to join the Debate Team.

Our team performance was good enough during the contest, but in semifinal round we were defeated by an unpredictable team, that later known they were trained by the same coach who coach our team, Mr. Ilham.

The man who took us into the semi-final round is the same man who made us failed to be the champion. Therefore we should fight for the third place that we finally achieved, and above all, we save the reputation and prestige of our school as a host.

2. Major obstacles and expectations

We faced a lot of obstacles, but the major obstacles were our lack of vocabulary and our deficit knowledge about the debate’s topic, that made it more and more difficult to defend our arguments.

Meanwhile, our public’s major expectation was to win the debate contest, that made us stressed and unfocused, except our coach, Mr. Ilham who always said that our goal was not to win the debate contest, but to learn how to speak up your mind and fight for our arguments, that’s why He prefer to motivate us to speak up our mind than to coach us to win every single round of the debate contest.

He took us to win the war, but not to win every battle, that’s why I always admire Him, even to this day, Our Motivator, Our Coach, Our Mentor, Our English Teacher, but He was not a betrayer, The Honorable, Mr. Ilham.


3. Make paragraph with these phrases:

a. Singing from the same hymne sheet

Partai Demokrat as the ruling party wants the oppositions party such as PDI-Perjuangan to singing from the same hymn sheet with him about the oil price increasing policy in order to maintain political stability in Indonesia.

b. The elephant in the room

The elephant in the room at the KPK's first press conference was the new KPK chairman's promise to rid Indonesia from corruption or He will resign if He can not afford.

c. Talk the talk, walk the walk

People want the government to talk the talk and walk the walk, if the government is serious to raise the price of oil, do not continuously make political discourse with political imagery as if the government concerned poor with direct cash transfer.

d. Pass to the monkey

A good corporate leader must ensure all employees to pass the monkey to achieve all corporate objectives.


e. All hands to the deck

When the government shouting: all hands on deck, in the event of a disaster, it is proving their inability to protect its people.

Kamis, 22 Desember 2011

TULISAN 8 ETIKA BISNIS

Etika Bisnis dalam Islam

SUNDAY, 04 OCTOBER 2009 01:58 YUSRO WIDIASTOMO

Oleh : Drs.Agustianto,MA

Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis.

DIKOTOMI MORAL DAN BISNIS
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kebangkitan Etika Bisnis
Sebenarnya, Di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang merangkum pemikiran Boulding(1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics", Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller; The Moral dimension: Toward a New Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total Quality Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.

Kecenderungan Baru
Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb: 1. Bertindak sesuai etika, 2. Mempertinggi keadilan sosial, 3. Melindungi lingkungan, 4. Pemberdayaan kreatifitas manusia, 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan, 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.
Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika bagi aktivitas bisnis.

Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

PANDUAN NABI MUHAMMAD DALAM BISNIS
Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
Kedua, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
Keempat, ramah-tamah . Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
Kelima, tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
Keenam, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
Kesembilan, Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.
Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
Ketigabelas, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
Kelimabelas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Demikianlah sebagian etika bisnis dalam perspektif Islam yang sempat diramu dari sumber ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun Sunnah.

BUKU ANJURAN UNTUK DIBACA

Abbas Mahmud al-`Aqqad, al-Insan fi al-Qur’an al-karim, (Kairo:dar al-Islam, 1973)
Abdul Hamid Abu Sulayman, Economic Theory of Islam : The Philosophy and Contemporary Means (cairo : dar Misr Li Taba`ah, 1960)
Ausaf Ahmad, Development and Problems of Islamic banks (Jeddah : IRT/IDB, 1987)
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu`amalat.(Yogyakarta : UII Press, 2000)
_________________,“Takaful Sebagai Alternatif Asuransi Islam,” Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96
Akram Khan, Economic Message Of The Quran (Kuwait : Islamic Book Publisher, 1996).
Amiur Nuruddin, Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Tanggungjawab Moral, Disertasi, Programa Pascasarjana IAIN. Yogyakarta, 1995.
As.Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1994)
A. Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta; Kanisius, 1995)
__________, Pasar Bebas, Keadilan Dan Peran Pemerintah:Telaah atas Etika politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta:Kanisius, 1996), h.146
Anwar Iqbal Quraisy, Economic and Social System of Islam, (Lahore : Islamic Book Service, 1979)
_________________, Islam and the Theory of Intrest, (Lahore:Sheikh Muhammad Ashraf, 1946).
Ali Syari`ati, Kritik Islam atas Marxisme Dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, (Bandung : Mizan, 1988).
BMI, Kertas Kerja Sosialisasi Perbankan Syari`ah, BI.Cab.Medan, tanggal 17 April 2000 , Medan
Buchari Alma, Ajaran Bisnis Dalam Islam, (Bandung; Alfabeta, 1994)
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1995).
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an , terj.Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983)
_____________, Islam, (Bandung : Pustaka, 1986)
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx:dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta:Gramedia, 2000)
_________________, et.al,Etika Bisnis : dasar Dan Aplikasinya, (Jakarta : Gramedia, 1994)
__________________,13 Model Pendekatan Etika,(Yogyakarta: kanisius, 1997)
Haidar Baqir, Era Baru Manajemen Etis, Kumpulan Surat Dari Harvard.(Bandung : Mizan, 1995)
Iggi H.Achsien, Investasi Syari`ah Di Pasar Modal, (Jakarta : Gramedia, 2000)
Iwan Triyuwono, Shari`ate Organisation and Accounting : The Reflection of Self’s faith and Knowledge, ( Organisasi Dan Akutansi Syari`ah), (Yogyakarta: LKIS, 2000)
Jalaluddin Rakhmat, “Konsep –Konsep Anthropolgis“, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Budy Munawwar Rahman (ed), (Jakarta: Paramadina, 1994)
Jhon R.Bennet, “Relegion’’ dalam Encyiclopedia Americana, Vol.XXIX, (New York)
Karnaen Perwataatmaja, dan M. Syafi`I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf,1992).
Kopkar Takaful, Takaful Asuransi Islam, (Jakarta : Kopkar Takaful, 1997)
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000)
_________, Etika, (Jakarta:Gramedia,1994)
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2000)
Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Jakarta : Gramedia, 2000)
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996)
M.Abdul Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995)
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Asuransi Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1987)
Mulya E Siregar, “Peran dan perospek Perbankan Syari`ah Dalam Perekonomian Syari`ah”, makalah, Seminar Nasional Sosialisasi dan Aktualisasi Ekonomi Syari`ah, FKEBI dan FE.UISU., tanggal 3 April 2000 di Medan
M.Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi Dan Manajemen, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),h.110-111
________________, Perspektif Deklarasi Makkah : Menuju Ekonomi Islam, (Bandung : Mizan,1993), h.126-129.
________________,Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama Dan Filsafat, 1999).
_________________, Ensiklopedi Al-Qur’an:Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Muhammad Syafi`i Antoniuo, “Prinsip Dan Etika Bisnis Dalam Islam” Makalah, Seminar Dan Worshop Ekonomi Islam. FKEBI. IAIN.SU.
_________________________, Bank Syari`ah, Wacana Ulama Dan Cendikiawana, (Jakarta: BI dan Tazkia Institut, 1999).
Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu`amalat Institut, 1999)
M.Amin Aziz, Mengembankan Bank Islam Di Indonesia, (Jakarta : Bankit, t.t)
Muh.Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996)
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000)
M.Umer Chafra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj.Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)
_____________, Islam Dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, terj. Nur Hadi Ihsan (Surabaya ; Risalah Gusti, 1999)
_____________, Islam Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani Pers,2000
_____________, The Future of Economics An Islamic Perspektive; Landscape Baru Perekonomian Masa Depan (Jakarta : SEBI, 2001)
Muhammad, Sistem Dan Prosedur Operasional bank Syari`ah, (Yogyakarta : UII Press, 2000)
Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam. (Jakarta ; Rineka Cipta, 1990).
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997).
_______________, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan,1992)
Mahmud Syaltut, Islam `Aqidah Wa Syari`ah,(Kairo: Dar al-Qalam, 1968)
Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahan Muslim,(Bandung: Gunung Djati Press,1999)
Nurcholis madjid, “Tafsir Islam Perihal Etos Kerja”, dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam , (ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999)
Purwanto Abdulcadir,”Prospek Takaful Di Indonesia”, dalam, Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96
Peter Pratley, The Essence of Business Ethics , (Yogyakarta : Andi, 1995)
Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post Robbins, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM ,1978)
Robby I.Chandra, Etika Dunia Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, (Jakarta : Sinar Harapan, 1998).
Rafiq Issa Beekun, Islamic Businees Ethics, (Herndon, The International Institute of Islamic Thought, 1981).
Said Kelana, Teori Ekonomi Mikro, (Jakarta : Rajawali Pers, 1996).
Steven Pressmen, Fifty Major Economist ( Lima Puluh Pemikir Ekonomi), terj. Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
Soetrisno, Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta:Fakultas Ekonomi UGM, 1982)
Sondang P Siagian, Etika Bisnis, (Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 19960)
Suherman Rosyidi, Pengantar Kepada Teori Ekonomi , (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h.67
Seyyed Hosein Nasr, “Perspektif Islam Perihal Etika Kerja” dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam , (ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999)
Syed Nawab Haider Naqvi, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, (Bandung : Mizan, 1985)
Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1997)
Winardi, Kapitalisme Versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoritis, (Bandung: Remaja Karya, 1986)
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari`ah , Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,(jakarta: Alvabet, 1999)
Ziauddin Ahmad, Al-Qur’an , Kemiskinan Dan Pemerataan Pendapatan, (Jakarta :Dhana Bakti Prima Yasa, 1998).
______________, et.al, Money and Banking in Islam, (Islamabad: Institut of Policy Studies, 1983.)
Ziaul Haque, Riba The Moral Economy of Usury, Intrest and Profit, (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co, 1995

Di RePosting Oleh : Yusro Widiastomo S.ip Owner Deshion.com (Pusat Grosir Busana Muslim Online).

TULISAN 7 ETIKA BISNIS

Moralitas dalam bisnis

Krisis kepercayaan terhadap bisnis perbankan saat ini sampai pada titik puncak. Kasus-kasus perbankan terkini ibarat puncak gunung es bobrok perbankan selama ini. Kasus-kasus tersebut memperlihatkann secara nyata kepada kita betapa bisnis perbankan penuh dengan corengan hitam immoralitas. Tentu masih segar diingatan kita tentang megaskandal bank century senilai 1,6 triliun rupiah yang sampai saat ini tidak jelas ujungnya. Dua minggu belakang dunia perbankan kembali tercoreng lewat dua skandal yang tak kalah besarnya yakni kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank yang diduga akibat aksi kekerasan debt collector (penagih utang) dan kasus “private banking” oleh Inong Malinda Dee pada bank yang sama.

Kasus terakhir ini memang masih dalam proses hukum, namun kasus dilakoni oleh senior relationship manager bank asing ini disinyalir telah menggelapkan sedikitnya Rp. 20 miliar uang nasabah dengan bukti-bukti yang amat jelas, yakni sejumlah apartemen di jantung segi tiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lebih dari itu, kasus ini disinyalir tidak hanya terkait dengan masalah “privat banking” biasa, lebih jauh dari itu kasus ini juga terindikasi pencucian uang (money laundering) dan tidak tertutup kemungkinan kejahatan perbankan lainnya juga ikut serta bersamanya.

Menganalisis kasus-kasus perbankan yang terjadi, tentu banyak perspektif yang dapat diajukan terutama dari segi hukum perbankan. Dalam kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank (Irzen Octa) misalnya, benar bahwa setiap utang harus dibayar namun tentu caranya bukan dengan perbuatan melawan hukum dan perbuatan biadab. Dalam kasus megaskandal bank Century, banyak perspektif yang dapat diajukan dari mulai kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pihak bank hingga aspek politik tingkat tinggi yang juga sangat kental mengitarinya. Sedangkan dalam masalah private banking lain lagi, dari mulai pelanggaran prosedur perbankan yang dinilai sebagai pelayanan istimewa kepada nasabah tertentu, sampai kepada kemungkinan terjadinya potensi pencucian uang (money laundering).

Terlepas dari berbagai perspektif yang dapat kita ajukan prihal problematika perbankan saat ini, namun yang penting ditegaskan bahwa persoalan moralitas adalah kunci utama penyebab hal ini semua. Sebaik apapun sistem, regulasi atau prosedur yang diterapkan dalam bisnis ini, moralitas pelaku bisnis adalah kunci segalanya.

Karena itulah, dalam bisnis (bahkan seluruh dimensi-dimensi kehidupan berdasarkan syariah) meniscayakan moralitas sebagai dasarnya. Moralitas atau akhlak (jika diurai lebih lanjut terdapat perbedaan antara moralitas dan akhlak, dalam tulisan ini disamakan) adalah prasyarat dalam menjalankan semua aktivitas dimensi kehidupan termasuk dalam bisnis.

Dalam khazanah sistem pendidikan dan dakwah, Rasulullah Saw. menyiapkan landasan moral lebih lama ketimbang sistem ibadah, hukum, sosial, tata negara dan seterusnya. Dari 23 tahun masa tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad Saw., 13 tahun pertama dihabiskan untuk menyiapkan landasan moral yang berlandaskan tauhid. Sampai-sampai penataan ibadah (dalam artian ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat) hanya ditata pada 10 tahun terakhir masa kerasulan.

Hal ini menunjukkan, dalam perspektif Islam bahwa landasan akhlak inilah yang menjadi kunci sukses-tidaknya seluruh dimensi kehidupan manusia. Shalat yang sangat berdimensi ibadah sekalipun dapat “dikorupsi” oleh orang yang tidak berakhlak, apakah dari segi waktu, substansi bahkan pelaksanaannya sendiri. Demikian pentingnya kedudukan akhlak dalam menata kehidupan.

Kedudukan akhlak dalam bisnis dalam perspektif Islam
Apa yang dimaksud dengan maoralitas bisnis dalam perspektif syariah?. Menurut Bukhari Alma, moralitas bisnis menurut Al-Quran dan hadis adalah nilai-nilai moral Islam yang berhubungan dengan aktifitas bisnis. Secara umum moralitas dalam bisnis Islam terdiri dari enam (6) prinsip utama, yakni kebenaran, kepercayaan, kejujuran, ketulusan, pengetahuan, dan keadilan. Tidak jauh berbeda dari itu, menurut Rafik Issa Beekum menjelaskan sistem etika Islam terdiri dari lima (5) konsep kunci, yaitu, keesaan, keseimbangan, kehendak bebas, tanggung jawab, serta kebajikan. Perbedaan mendasar moralitas bisnis Islami dengan moralitas bisnis non Islami adalah, jika landasan normatif etika bisnis islami adalah Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw., yang menjelaskan bahwa seluruh aktivitas bisnis dalam berbagai macam bentuknya tidak membatasi jumlah kepemilikan harta seseorang, baik barang maupun jasa, namun membatasi cara perolehan dan pemanfaatan harta tersebut yang dikenal dengan aturan halal dan haram, sedangkan landasan normatif moralitas bisnis non islami adalah hasil perenungan dari kitab-kitab suci yang mereka yakini, atau filsafat yang lahir dari perenungan mereka mengenai bagaimana menjalankan bisnis di atas landasan etika, namun tidak dibingkai aturan halal dan haram sebagaimana yang terdapat Islam. (A. Darussalam, 99).

Disinilah keunikan ekonomi Islam, berpadunya antara ekonomi dan akhlak, sampai-sampai Penulis Prancis dalam bukunya “Islam dan Perkembangan Ekonomi” mengakui bahwa Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi. Keduanya satu kesatuan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Perbankan di Indonesia
Dalam konteks perbankan di Indonesia saat ini, pentingnya akhlak dalam dunia bisnis termasuk perbankan hendaknya dilakukan dengan membentuk sistem moralitas yang terpadu. Salah satu yang penting diperhatikan adalah sistem pengrekrutan pegawai perbankan seyogyanya sangat memperhatikan aspek akhlak sebagai aspek yang terpenting. Psikotes bagi pelamar pegawai bank hendaknya memasukkan “nilai aklak” dengan sistem yang terbentuk. Apalagi, bisnis perbankan adalah industri yang penuh resiko. Pengelolaan resiko tidak hanya dapat dihadapi dengan pengalihan resiko kepada bentuk lain.

Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawasan bank di Indonesia seyogyanya melakukan sistem supervisi yang berdimensi jangka panjang dan langggeng yang berlandaskan moralitas. Dalam sebuah wawancara dengan pejabat BI tentang masalah ini menunjukkan pejabat BI tidak mampu melihat akar persoalan secara utuh. Misalnya, ketika ditanya bagaimana penyelesaian resiko hilangnya dana nasabah bank, sebab banyak potensi resiko bank adalah tinggi seperti terjadinya pencurian oleh pihak karyawan. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan pengalihan resiko tersebut dengan cara mengasuransikan. Maksudnya, jika terjadi pencurian karyawan akan diganti oleh asuransi. Demikian juga dengan persoalan kasus tewasnya nasabah Citibank yang dilakukan oleh penagih utang. Dengan mudah, pejabat BI mengatakan pihak bank hendaknya memasang CCTV dalam ruang pertemuan. (Tempo, 2011).

Bahwa cara-cara yang dibuat oleh BI dapat saja dibenarkan dari sisi teknis pengelolaan resiko perbankan, seperti mengelola resiko pencurian uang dengan mengasuransikannya kepada pihak asuransi, demikian juga memasang CCTV pada setiap ruangan sehingga seluruh kejadian pada ruangan dapat dipantau. Namun apakah cara-cara seperti itu dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas?. Bukankah hal tersebut membuat kesan bahwa boleh saja seseorang melakukan tindakan penipuan sebab semua telah diasuransikan. Bukankah modus operandi pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat “lepas” dari pengawalan CCTV?

Oleh karena itu, penyelesaian kasus immoralitas perbankan harus dilakukan dengan membuat sistem yang berdimensi jangka pajang dan lebih bersifat preventif. Dalam hal ini sistem yang menjadi moralitas menjadi pilihan utama dengan berbagai cara yang bersifat teknis. Upaya untuk melakukan perekrutan pegawai dengan mementingkan moralty skill mutlak dilakukan, demikian juga melakukan penyegaran moralitas dalam sistem pegawai dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencerdasan spiritual quation dapat menjadi pilihan disamping tentunya memperbaiki sistem yang “bolong” yang terjadi selama ini. Wallahu’alam.

Penulis adalah Dosen Hukum Bisnis Fak. Syariah IAIN Sumatera Utara

TULISAN 6 ETIKA BISNIS

Etika Bisnis, Otoritas Moral dan Sekolah - Kasus Penasaran Kebutaan Bisnis Sekolah

Berikut adalah beberapa berita lama: Kita harus melakukan pekerjaan yang lebih baik mendeteksi penipuan Bisnis. Berikut adalah berita sedikit lebih lama:
Kita tidak bisa mempercayai siapa pun dekat dengan scam potensi untuk memperingatkan kita - karena mereka tidak akan. Dan itu tidak akan peduli bahwa mereka adalah alumni dari bisnis kami yang terbaik dan sekolah-sekolah hukum.

Apakah itu Enron,Bernard Madoffatau sub-prime mortgage kegagalan, kekacauan pribadi dan keuangan yang mereka tempa hampir tak terhitung. Hebatnya, tak seorang pun melangkah untuk intervensi sampai setelah kerusakan besar sudah dilakukan. Terbaik kami dan hanya tampak cemerlang dengan cara lain ...
Oleh karena itu penipuan ini menyoroti dua krisis terbesar di dunia Etika bisnis kami menghadapi - krisis-krisis

(A) kecurangan luas dan
(B) orang menyaksikan dan melakukan apa-apa sebagai orang di sekitar mereka curang.
Krisis ini juga bertugas untuk menyoroti kasus aneh kebutaan kita sekolah bisnis karena mereka terus mengandalkan teori-teori rakyat didiskreditkan karena mereka terus mengeluarkan generasi scammers terampil dan mereka yang melihat dengan cara lain.
Yang pertama dari teori ini mendiskreditkan rakyat - dan salah satu yang paling sering digunakan untuk menentang pengenalan program etika ke dalamSekolah bisnis kami - adalah bahwa moralitas adalah masalah karakter dan bahwa, oleh siswa saat mendaftar di program bisnis , sudah terlambat beause nilai-nilai mereka sudah terbentuk dan mati telah dilemparkan. Mereka menyimpulkan bahwa etika Oleh karena itu program yang efektif membuang-buang waktu. Yang kedua dari teori ini diam-diam menerima mendiskreditkan yang pertama, tetapi berpendapat bahwa masih mungkin untuk meningkatkan karakter.
sekolah bisnis telah gagal kami ...
Dalam mengatasi krisis ini, sekolah bisnis memiliki dampak tidak. Dan sebelum kita mendengarkan lolongan protes dari dekan, kita mungkin harus memungkinkan fakta untuk berbicara untuk diri mereka sendiri ...
Sebagai sekolah telah berusaha untuk membuat siswa mereka lebih sensitif terhadap isu-isu etika untuk mencegah penipuan dan kecurangan di masa depan, mahasiswa bisnis terlibat dalam kecurangan akademik yang lebih lebih dari siswa lain. Kecurangan dalam sekolah bisnis tetap meresap. Dan sebagai mahasiswa bisnis curang, siswa sesama mereka dan fakultas berdiri dan berpaling. Tidak ada perselisihan bahwa sangat sedikit dari mereka yang curang tertangkap. Apa ini menunjukkan adalah baik ketidakmampuan sekolah 'atau keengganan untuk melakukan apa-apa tentang kecurangan. Jadi, jika sekolah tidak dapat mengatasi krisis yang sama bahwa wajah dunia bisnis, bagaimana kita bisa mengharapkan alumni mereka untuk mengatasi krisis-krisis ini baik secara efektif atau sama sekali saat mereka memasuki angkatan kerja? Sebagai penipuan terakhir konfirmasi, kita tidak bisa ...
Mungkin salah satu alasan kegagalan sekolah dalam mengatasi krisis adalah bahwa beberapa terus menggunakan teori-teori motivasi mendiskreditkan rakyat dalam pendekatan mereka terhadap masalah tersebut. Alasan lain adalah bahwa mereka berfokus pada masalah yang salah. Hal ini mungkin menjelaskan ketidakmampuan mereka untuk bertindak sebagai model peran untuk komunitas bisnis mereka melayani.
Sebuah titik awal ...
Meskipun sekolah menganggap profil tinggi sebagai skandal penipuan terutama etika, mereka sebenarnya jauh lebih. Mereka juga merupakan wabah yang serius tingkat tinggi kejahatan kerah putih.
Untuk mencegah masa depan yang sama kejahatan kerah putih, kriminolog berpendapat bahwa fokus harus pada cara untuk mengurangi kemungkinan bahwa mahasiswa bisnis akan menjadi penjahat kerah putih.
Sebaliknya, sekolah bisnis telah memilih fokus yang berbeda, yaitu, bagaimana untuk mengurangi kemungkinan
bahwa siswa mereka akan bertindak tidak etis. Ini adalah berbeda, namun terkait, pendekatan ...
Sekolah bisnis fokus pada dilema moral. Ketika mereka mengajar murid-murid mereka dengan perspektif fundamental dari Kant atau Utilitarianisme, mereka mengabaikan fakta bahwa scammers dihadapkan dengan tidak ada dilema moral. Mereka dengan demikian mengabaikan argumen kriminolog 'bahwa orang tidak melakukan kejahatan karena mereka tidak memiliki keahlian dalam penerapan Kant atau Utilitarianisme. Para kriminolog menunjukkan bahwa penjahat kerah putih tahu apa hukum dan moralitas membutuhkan dari mereka, namun masih melakukan kejahatan. Jadi, apa yang memotivasi mereka untuk melakukannya?
Apa literatur kriminologi mengungkapkan ...
Kriminologi literatur mengungkapkan bahwa motivasi moral bukan tentang karakter, atau tentang nilai-nilai. Sebaliknya, ini adalah tentang situasi di mana orang menemukan diri mereka - dan bagaimana mereka memandang situasi itu. Seperti apa yang mereka anggap orang lain berpikir tentang situasi mereka dan apa yang dapat diterima ...
Dalam bisnis, itu adalah organisasi kita menciptakan dan mengelola yang menciptakan situasi-situasi. Khususnya dalam organisasi birokrasi yang besar, kita sering menciptakan subkultur yang mengisolasi karyawan dari masyarakat luas. Hal ini dapat menjadi tempat berkembang biak bagi perilaku tidak etis dan bahkan kriminal. Kriminolog akan berpendapat bahwa jika organisasi-organisasi ini menciptakan sebuah lingkungan kelembagaan yang akan mempromosikan etika perilaku non-pidana, kita tidak dapat mengharapkan perilaku etis dan non-pidana untuk hasil.
Para pemimpin organisasi-organisasi tersebut karena itu harus maju dan menampilkan beberapa otoritas moral. Mereka jelas harus menyatakan bahwa organisasi tidak akan menerima alasan atau teknik netralisasi yang tersedia kepada karyawan untuk memaafkan perilaku kriminal dan tidak etis. Dan jika sekolah bisnis tidak mengajar ini, mereka harus - baik sehubungan dengan bagaimana siswa melakukan sendiri di sekolah dan luar sekolah.
Apa yang mendiskreditkan teori rakyat berarti ...
Karena sekolah bisnis dan manajer bisnis tidak bisa lagi mengandalkan teori rakyat pertama didiskreditkan, mereka tidak bisa lagi hanya mengangkat bahu mereka dan mengklaim bahwa kecurangan tidak masalah mereka karena is''too late''to melakukan apa-apa tentang etika.
Hal ini juga akan memaksa mereka untuk mengatasi pertengkaran kriminolog 'seperti mengapa orang lebih mungkin untuk melakukan kejahatan kerah putih. Mereka percaya bahwa orang-orang mereka telah menjadi percaya diri berbicara dalam beberapa jenis alasan untuk tindakan mereka - khususnya dimana alasan memiliki lingkungan yang mendukung dan ada peer group yang juga cenderung melihat ini sebagai alasan yang sah.
Argumen, karena itu, adalah alasan untuk menyerang atau teknik netralisasi bahwa siswa mungkin mengalami, dan mungkin tergoda untuk mempekerjakan, baik di sekolah dan ketika mereka pergi untuk karir masa depan mereka. Tanggung jawab sekolah bisnis 'adalah untuk menunjukkan ketidakcukupan alasan ini sehingga siswa akan cenderung untuk menerima mereka ketika mereka bertemu dengan mereka dalam angkatan kerja. Apakah atau tidak akan melepaskan tanggung jawab sekolah ini adalah bagi mereka untuk memutuskan. Pada saat ini, banyak yang tidak ...
Dimana ini pasti akan mengarah adalah pemeriksaan kepemimpinan dan otoritas moral - baik untuk sekolah bisnis dan komunitas bisnis yang lebih besar - dan komitmen untuk membuang teori mendiskreditkan rakyat yang telah mengakibatkan sekolah-sekolah bisnis jalan yang buntu. ...
Source: http://id.hicow.com/etika/sekolah-bisnis/bernard-madoff-2040.html

TULISAN 5 ETIKA BISNIS

Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial

OPINI | 17 June 2011 | 19:41476
Oleh : Atep Afia Hidayat -

Begitu cepatnya perkembangan yang terjadi dalam dunia bisnis, hingga secara akumulasi mampu memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi, ternyata aspek pertumbuhan itu kurang diimbangi dengan pemertaan, maka terjadilah kasus kesenjangan sosial dan ekonomi. Kesenjangan makin melebar jika upaya kearah pemerataan tidak dijalankan secara intensif.

Prinsip umum dalam dunia bisnis, yakni mencari benefit yang maksimum. Faktor modal dan berbagai sumberdaya dikerahkan untuk mendapatkan out put yang memiki nilai lebih. Untuk mencapai sasaran tersebut banyak hal yang harus “dikorbankan”, meskipun “pengorbanan” itu secara tidak langsung.

Dalam konteks “pengorbanan” tersebut seringkali terjadi penyimpangan, umpamanya tenaga kerja yang dibayar tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hingga upah tersebut tidak bisa menutupi kebutuhan dasar (basic need) dari tenaga kerja. Dalam model relasi yang demikian, berarti unsur tenaga kerja yang mensubsidi pelaku bisnis. Lantas, apakah hal tersebut tidak menyimpang dari etika bisnis? Apakah pelaku bisnis yang bertindak bisa dikatakan memiliki tanggungjawab sosial?

Tenaga kerja merupakan faktor produksi, di samping modal, bahan baku, mesin dan lahan. Para pelaku bisnis biasanya berupaya menekan ongkos produksi, yakni untuk memperoleh benefit yang maksimum. Upah tenaga kerja yang dibayar rendah merupakan langkah efisiensi yang sangat keliru. Sebab, bagaimanapun tingkat upah ini akan berkaitan erat dengan tingkat produktivitas.

Upah yang rendah menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum (KFM), lebih jauh lagi akan menimbulkan penurunan motivasi kerja. Padahal, tenaga kerja merupakan aset terpenting bagi setiap perusahaan, merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahya produktivitas dan efisiensi perusahaan.


Etika Bisnis dan HIP

Mulai tahun 1975 diperkenalkan kebijaksanaan mengenai ketenagakerjaan dalam bentuk HIP (hubungan Industrial Pancasila). Di dalam HIP diatur antara pelaku proses produksi (tenaga kerja), pengusaha pemilik modal (pelaku bisnis), konsumen dan pemerintah, supaya antara unsur-unsur tersebut terjadi interaksi dengan sifat saling mufakat dan saling merasa memiliki. Dalam HIP juga pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai KKB (Kesepakatan Kerja Bersama), yang meliputi ketentuan upah minimum (KUM), jaminan keselamatan kerja dan tunjangan.

Etika bisnis dalam kaitannya dengan masalah ketenagakejaan sebenarnya sudah cukup dirinci di dalam HIP. Tetapi, ternyata sampai saat ini penyimpangan-penyimpangan dari etika tersebut sering terjadi.

Agar perkembangan bisnis selalu dalam kondisi yang sehat, maka etika bisnis harus tetap ditegakkan. Sebab, bagaimanapun bisnis bukan sekedar kegiatan ekonomi semata, tetapi, juga menyangkut tanggungjawab sosial. Bisnis akan terus tumbuh jika lingkungan sosial kondusif. Lingkungan sosial meliputi tenaga kerja dengan segenap permasalahannya. Gejolak sosial yang muncul, seperti dalam bentuk aksi pemogokan, akan menimbulkan kemandegan pertumbuhan perusahaan.


Menyangkut Masyarakat

Bisnis tumbuh ditengah-tengah masyarakat, bahkan segala aktivitas selalu berkaitan erat dengan masyarakat. Dengan demikian masyarakat senantiasa menerima dampak eksternal dari berbagai kegiatan bisnis, baik dampak positif atau negatif.

Umpamanya dengan pembukaan industry baru, dampak eksternal positif yang muncul, antara lain terjadinya penyerapan tenaga kerja. Selain itu, terjadi juga peningkatan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dengan munculnya bisnis baru ditengah-tengah masyarakat, bisa memacu kegiatan perekonomian domestic. Hal itu ditandai dengan meningkatnya keluar masuk uang dan barang, juga sarana transportasi menjadi tersedia. Beberapa kota baru tiba-tiba muncul dan banyak diekspos, misalnya Cikampek, Cikarang, Cilegon, Bontang, Batam dan Lhoksumawe. Kota-kota kecil tersebut dulunya kurang dikenali, lantas mendapat perhatian besar, antara lain karena kehadiran berbagai aktivitas bisnis, terutama sektor industri.

Dengan munculnya kawasan bisnis baru, masyarakat disekitarnya akan mengalami transformasi sosial, ekonomi bahkan budaya. Arah transformasi tersebut bisa positif, bisa pula sebaliknya. Contoh yang negatif, umpamanya meningkatnya budaya komsumerisme dan pemindahan status kepemilikan lahan.

Dengan dibukanya kawasan industri baru atau pusat-pusat bisnis, terjadilah upaya pembebasan tanah, kasus ini bisanya menyebabkan kekurangpuasan dalam hal ganti-rugi, yang penyelesaiannya bisa berlarut-larut. Jika penanganan proses “pemindahan status pemilik lahan” ini kurang seksama dan tidak disertai tanggungjawab sosial, maka bisa menimbulkan dampak eksternal bisnis yang negatif, yakni meluasnya pengangguran dan kemiskinan.

Kehadiran berbagai sektor bisnis di tengah-tengah masyarakat, selalu menimbulkan dampak eksternal positif dan negatif. Masalahnya, jenis dampak eksternal yang mana paling dominan. Di sinilah letak pentingnya etika bisnis dan tanggungjawan sosial, bisnis tidak semata-mata mengejar keuntungan, tetapi juga berupaya untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Paling tidak, kegiatan bisnis tersebut tidak merugikan masyarakat.


Menyangkut Lingkungan

Aktivitas bisnis terutama sektor industri, seringkali menimbulkan dampak lingkungan yang negatif. Dalam berbagai proses produksi dihasilkan gas polutan atau limbah bentuk padat dan cair. Dampak dari pelimbahan yakni merosotnya mutu lingkungan yang secara langsung menyebabkan merosot pula mutu hidup masyarakat sekitarnya. Udara yang dihirup menjadi tercemar. Selain itu, limbah banyak berupa racun yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.

Jika kasus pelimbahan dan polutan sudah tak terkendalikan lagi, maka sudah menunjukkan terjadinya penyimpangan etika bisnis dan degredasi tanggungjawab sosial dari pelaku-pelaku bisnis. Padahal biaya kompensasi untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak jauh lebih mahal, juga biaya itu hanya sebagian kecil saja yang ditanggung pelaku bisnis, sebagian besar lainnya justru ditanggung oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, atau subsidi dari pemerintah.

Ternyata, berbagai aktivitas bisnis memerlukan filosofi bisnis, yakni etika bisnis dan tanggungjawab sosial, yang harus benar-benar di realisasikan, antara lain untuk meredam terjadinya dampak internal atau eksternal yang negatif. Dengan diterapkannya etika bisnis yang disertai tanggungjawab sosial, bisnis akan tumbuh dan berkembang karena terciptanya iklim dan lingkungan yang kondusif. Bisnis dalam kondisi yang demikian diharapkan bisa memacu terjadinya pemerataan. (Atep Afia)

TULISAN 4 ETIKA BISNIS

Etika, Moralitas dan Bisnis

Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang sangat penting.
Apa yang diharapkan dan mengapa kita mempelajari Etika Bisnis?
Menurut K. Bertens ada 3 tujuan yang ingin dicapai yaitu :
Ø Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis.
Menanmkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu
Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.
Ø Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat.
Dalam etika sebagai ilmu, bukan baja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.
Ø Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat di dalam profesinya (kelak)
Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan. Apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabanya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.
Apa yang dimaksud dengan etika?
Etika dan moralitas sering dipertukarkan dengan pengertian yang sering disamakan begitu saja. Ini sesunggguhnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang sama sekali berbeda dengan moralitas. Etika berasal dari kata Yunani Ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti ada istiadat. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke genarasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.
Yang menarik disini, dalam pengertian ini etika justru persis sama dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, dalam pengertian pertama ini, yaitu pengertian harfiahnya, etika dan moralitas, sama-sama berarti system nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan pada umumnya system nilai, sebagai sebuah kebiasan hidup yang baik, lalu diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan dalam bentuk aturan atau norma yang diharapkan menjadi pegangan setiap penganut agama dan kebudayaan tersebut. dalam hal ini agama dan kebudayaan lalu dianggap sebagai sumber utama nilai moral dan aturan atau norma moral dan etika. Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dan dikenal dalam agama lain. Tanpa ingin memasuki diskusi yang rumit tentang soal ini, secra umum dapat dikatakan bahwa nilai moral yang dalam semua agama sampai tingkat tertentu dapat diandaikan sama. Alasan sederhananya, karena moralitas dan etika menyentuh kehidupan manusia sebagai manusia terlepas dari agama dan budaya yang dianutnya. Agam dan budaya hanyalah wadah yang melembagakan nilai dan aturan moral tentang bagaimana manusia hidup secara baik sebagai manusia. Dengan demikian etika dan moralitas member petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu. Yang berbedaanatar nilai yang dianut satu agama dan budaya dengan nilai yang dianut agama dan budaya lainnya lebih menyangkut penerapan konkret nilai tersebut. karena itu, misalnya semua agama mengutk pemerkosaan, penindasan, pembunuhan, penipuan dan seterusnya.
Kedua, etika itu juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian kedua ibni, etika mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dari moralitas dan etika dalam pengertian pertama di atas. Etika dalam pengertian kedua ini dimengerti sebagai filsafat moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian yang pertama di atas. Dengan demikian, etika dalam pengertian pertama, sebagaimana halnya moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupannya. Ia berkaitan dengan perintah dan larangan langsung yang bersifat konkret. Maka, etika dalam pengertian ini lebih normative dank arena itu lebih mengikat setiap pribadi manusia.
Sebaliknya etika dalam pengertian kedua sebagai filsafat moral tidak langsung member perintah konkret sebagai pegangan siap pakai. Sebagai sebuah cabang filsafat, etika lalu sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma moaral serta permasalahan-permasalahan moral yang timbul dalam kehidupan manusia, khususnya dalam bermasyarakat. Dengan demikian, etika dalam pengertian kedua dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma –norma moral yang umum diterima.
Dalam kaitan dengan tiu, ketika Magnis-suseno mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan ajaran, yang ia maksudkan adalah etika dalam pengertian kedua ini. Sebagai sebuah ilmu yang terutama menitikbertakan refleksi kritis dan rasional, etika dalam pengertian yang keuda ini lalu bahkan mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus dilaksanakan dalam situasi konkret tertentu yang dihadapi seseorang. Atau juga, etika mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan dengan nilai dan norma moral tertentu harus dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dank arena itu dikutuk atau justru sebaliknya.


Daftar Pustaka
Ø Keraf, Dr. A Sony. 1998. Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya. Kanisius. yogyakarta
Ø http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS
Ø http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1238/1/manajemen-ritha8.pdf

TULISAN 3 ETIKA BISNIS

PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM BISNIS

Bisnis dan perusahaan merupakan satu kesatuan dimana, bisnis sudah mencakup perusahaan. bisnis bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga kebutUhan pemilik perusahaan penghasil produk tersebut. tujuan dari bisnis adalah laba, dimana laba yang didapatkan perusahaan akan dialiri kembali ke divis-disvis perusahaan. oleh karena itu, agar perusahaan tetap going concern maka perusahaan harus mendapatkan laba dimana penghasilan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk mendapatkan laba perusahaan harus berani bersaing dengan pesaing lain. Dalam persaingan tersebut, perusahaan menghalakan segala cara. Salah satunya adalah dengan membandingkan produknya dengan produk yang lain, sehingga mereka melupakan etika bisnis. Apabila hal ini terus berlanjut maka akan terjadi perpecahan di dunia bisnis, oleh sebab itu untuk menjaga perdamaian tersebut perusahaan harus menjaga etika dalam berbisnis dengan tidak menyinggung produk lain, dalam iklan yang ditayangkan sehingga, perpecahan dapat terhindari.
Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari masyarakat konsumen dilakukan melalui persaingan usaha yangfair (jujur), transparent (terbuka), dan ethic (etis). Perbuatan yang termasuk dalam kategori unethical conduct misalnya memberikan informasi yang tidak benar mengenai bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan tender, dan melakukan persaingan tidak sehat.

Contoh kasus persaingan tidak sehat dalam bisnis :
JAKARTA - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) kembali membuka kasus dugaan persaingan tidak sehat dalam proyek konsorsium Donggi-Senoro.
Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi menyatakan bahwa dibukanya kembali kasus yang ditutup pada Juni 2009 tersebut merupakan insiatif dari KPPU sendiri dan bukan diajukan kembali oleh pihak yang melaporkan terdahulu yaitu PT LNG Energi Utama.
"Iya benar, kami (KPPU) telah membuka kembali pemeriksaan pendahuluan terhadap adanya indikasi persaingan tidak sehat mulai 3 Juni kemarin.Pemeriksaan perkara monitoring ini adalah insiatitif dari KPPU," ujarnya saat dikonfirmasi okezone terkait dibukanya kembali masalah yang telah ditutup setahun lalu tersebut, di Jakarta, Jumat (4/6/2010).
Menurutnya, pemeriksaan pendahuluan itu memerlukan waktu 30 hari kerja untuk membuktikan adanya pelanggaran atau tidak terhadap UU No. 5/2009 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat pasal 22 tentang adanya dugaan persekongkolan tender dan pasal 23 tentang penggunaan informasi dari pesaing. Berdasarkan monitoring dari KPPU menemukan beberapa bukti dan connect dengan indikasi pelanggaran sehingga KPPU berkepentingan untuk membuka lagi masalah tersebut.
"Perlu 30 hari kerja untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, kira-kira pertengahan Juli sudah selesai untuk itu," ujarnya.
Nantinya, setelah pemeriksaan pendahuluan selesai dilakukan. Pihaknya akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terlapor dengan melampirkan surat keterangan adanya dugaan penyimpangan.
Jika terlapor terindikasi melakukan pelanggaran, maka KPPU akan melanjutkannya pada pemeriksaan lanjutan, namun akan dihentikan jika tidak terindikasi terdapat pelanggaran. "Kita akan memanggil para terlapor jika ada indikasi dugaan pelanggaran," ujarnya.
Dirinya kembali menjelaskan bahwa pembukaan kembali kasus yang ditutup setahun yang lalu ini merupakan inisiatif KPPU dan karena masih dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, maka belum ada pembicaraan lanjutan terkait masalah sanksi.
"Pemeriksaan pendahuluan ini belum bicara soal sanksi, itu soal nanti, jadi saya belum ada komentar," ujarnya.
Dia menyatakan, penutupan kasus ini tahun lalu karena berkas laporan yang diterima KPPU tidak jelas dan tidak lengkap sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut
"Yang laporannya tidak jelas dan tidak lengkap," tandasnya.
Sebelumnya, PT LNG Energi Utama (LEU) yang merupakan pihak yang pelapor kasus ini menyatakan bahwa KPPU akan kembali membuka kasus ini atas dasar insiatif KPPU sendiri, pada Senin 18 Januari lalu.
LEU sebelumnya telah memasukkan laporan adanya kecurangan yang dilakukan oleh Mitsubishi Corporation dalam proyek Donggi Senoro dengan berpartner dengan Pertamina-Medco, sebanyak dua kali ke KPPU, namun KPPU menghentikan laporan tersebut dengan alasan laporan EU tidak jelas dan tidak lengkap.
Sumber : http://economy.okezone.com/read/2010/06/04/320/339615/320/kasus-persaingan-tak-sehat-donggi-senoro-kembali-dibuka