Kamis, 22 Desember 2011

TULISAN 8 ETIKA BISNIS

Etika Bisnis dalam Islam

SUNDAY, 04 OCTOBER 2009 01:58 YUSRO WIDIASTOMO

Oleh : Drs.Agustianto,MA

Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah a code or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika. Salah satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis.

DIKOTOMI MORAL DAN BISNIS
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.
Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kebangkitan Etika Bisnis
Sebenarnya, Di Barat sendiri, pemikiran yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi bersifat netral etika seperti di atas, akhir-akhir ini telah digugat oleh sebagian ekonom Barat sendiri. Pandangan bahwa ilmu ekonomi bebas nilai, telah tertolak. Dalam ilmu ekonomi harus melekat nuansa normatif dan tidak netral terhadap nilai-nilai atau etika sosial. Ilmu ekonomi harus mengandung penentuan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan. Pemikiran ini banyak dilontarkan oleh Samuel Weston, 1994, yang merangkum pemikiran Boulding(1970), Mc Kenzie (1981), dan Myrdal (1984).
Pada tahun 1990-an Paul Ormerof, seorang ekonom kritis Inggris menerbitkan bukunya yang amat menghebohkan “The Death of Economics", Ilmu Ekonomi sudah menemui ajalnya. (Ormerof,1994). Tidak sedikit pula pakar ekonomi millenium telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern. Amitas Etzioni menghasilkan karya monumental dan menjadi best seller; The Moral dimension: Toward a New Economics (1988). Berbagai buku etika bisnis dan dimensi moral dalam ilmu ekonomi semakin banyak bermunculnan.
Jadi, menjelang millenium ketiga dan memasuki abad 21, konsep etika mulai memasuki wacana bisnis. Wacana bisnis bukan hanya dipengaruhi oleh situasi ekonomis, melainkan oleh perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, teknologi, serta pergeseran-pergeseran sikap dan cara pandang para pelaku bisnis atau ahli ekonomi. Keburukan-keburukan bisnis mulai dibongkar. Mulai dari perkembangan pasar global, resesi yang mengakibatkan pemangkasan anggaran PHK, enviromentalisme, tuntutan para karyawan yang makin melampaui sekedar kepuasan material, aktivisme para pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan go public atau trans nasional, kaedah-kaedah baru di bidang managemen, seperti Total Quality Management, rekayasa ulang dan bencmarking yang menghasilkan pemipihan hirarki dan empowerment, semuanya telah men¬ingkatkan kesadaran orang tentang keniscayaan etika dalam aktivitas bisnis.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat -yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan- mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi. Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius. Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.

Kecenderungan Baru
Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sbb: 1. Bertindak sesuai etika, 2. Mempertinggi keadilan sosial, 3. Melindungi lingkungan, 4. Pemberdayaan kreatifitas manusia, 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan, 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar-benar menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cendrung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak.
Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika bagi aktivitas bisnis.

Islam Sumber Nilai dan Etika
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Syed Nawab Haidar Naqvi, dalam buku “Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sistesis Islami”, memaparkan empat aksioma etika ekonomi, yaitu, tauhid, keseimbangan (keadilan), kebebasan, tanggung jawab.
Tauhid, merupakan wacana teologis yang mendasari segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan bisnis. Tauhid menyadarkan manusia sebagai makhluk ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan. Dengan demikian, kegiatan bisnis manusia tidak terlepas dari pengawasan Tuhan, dan dalam rangka melaksanakan titah Tuhan. (QS. 62:10)
Keseimbangan dan keadilan, berarti, bahwa perilaku bisnis harus seimbang dan adil. Keseimbangan berarti tidak berlebihan (ekstrim) dalam mengejar keuntungan ekonomi (QS.7:31). Kepemilikan individu yang tak terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis, tidak dibenarkan. Dalam Islam, Harta mempunyai fungsi sosial yang kental (QS. 51:19)
Kebebasan, berarti, bahwa manusia sebagai individu dan kolektivitas, punya kebebasan penuh untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam ekonomi, manusia bebas mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Karena masalah ekonomi, termasuk kepada aspek mu’amalah, bukan ibadah, maka berlaku padanya kaedah umum, “Semua boleh kecuali yang dilarang”. Yang tidak boleh dalam Islam adalah ketidakadilan dan riba. Dalam tataran ini kebebasan manusia sesungguynya tidak mutlak, tetapi merupakan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
Pertanggungjawaban, berarti, bahwa manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnis. Harta sebagai komoditi bisnis dalam Islam, adalah amanah Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

PANDUAN NABI MUHAMMAD DALAM BISNIS
Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
Kedua, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
Keempat, ramah-tamah . Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
Kelima, tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
Keenam, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
Kesembilan, Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan.
Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
Keduabelas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
Ketigabelas, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
Keempatbelas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
Kelimabelas, Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
Keenambelas, Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
Ketujuhbelas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Demikianlah sebagian etika bisnis dalam perspektif Islam yang sempat diramu dari sumber ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun Sunnah.

BUKU ANJURAN UNTUK DIBACA

Abbas Mahmud al-`Aqqad, al-Insan fi al-Qur’an al-karim, (Kairo:dar al-Islam, 1973)
Abdul Hamid Abu Sulayman, Economic Theory of Islam : The Philosophy and Contemporary Means (cairo : dar Misr Li Taba`ah, 1960)
Ausaf Ahmad, Development and Problems of Islamic banks (Jeddah : IRT/IDB, 1987)
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu`amalat.(Yogyakarta : UII Press, 2000)
_________________,“Takaful Sebagai Alternatif Asuransi Islam,” Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96
Akram Khan, Economic Message Of The Quran (Kuwait : Islamic Book Publisher, 1996).
Amiur Nuruddin, Konsep Keadilan Dalam Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Tanggungjawab Moral, Disertasi, Programa Pascasarjana IAIN. Yogyakarta, 1995.
As.Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1994)
A. Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis : Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta; Kanisius, 1995)
__________, Pasar Bebas, Keadilan Dan Peran Pemerintah:Telaah atas Etika politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta:Kanisius, 1996), h.146
Anwar Iqbal Quraisy, Economic and Social System of Islam, (Lahore : Islamic Book Service, 1979)
_________________, Islam and the Theory of Intrest, (Lahore:Sheikh Muhammad Ashraf, 1946).
Ali Syari`ati, Kritik Islam atas Marxisme Dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, (Bandung : Mizan, 1988).
BMI, Kertas Kerja Sosialisasi Perbankan Syari`ah, BI.Cab.Medan, tanggal 17 April 2000 , Medan
Buchari Alma, Ajaran Bisnis Dalam Islam, (Bandung; Alfabeta, 1994)
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1995).
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an , terj.Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983)
_____________, Islam, (Bandung : Pustaka, 1986)
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx:dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta:Gramedia, 2000)
_________________, et.al,Etika Bisnis : dasar Dan Aplikasinya, (Jakarta : Gramedia, 1994)
__________________,13 Model Pendekatan Etika,(Yogyakarta: kanisius, 1997)
Haidar Baqir, Era Baru Manajemen Etis, Kumpulan Surat Dari Harvard.(Bandung : Mizan, 1995)
Iggi H.Achsien, Investasi Syari`ah Di Pasar Modal, (Jakarta : Gramedia, 2000)
Iwan Triyuwono, Shari`ate Organisation and Accounting : The Reflection of Self’s faith and Knowledge, ( Organisasi Dan Akutansi Syari`ah), (Yogyakarta: LKIS, 2000)
Jalaluddin Rakhmat, “Konsep –Konsep Anthropolgis“, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Budy Munawwar Rahman (ed), (Jakarta: Paramadina, 1994)
Jhon R.Bennet, “Relegion’’ dalam Encyiclopedia Americana, Vol.XXIX, (New York)
Karnaen Perwataatmaja, dan M. Syafi`I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf,1992).
Kopkar Takaful, Takaful Asuransi Islam, (Jakarta : Kopkar Takaful, 1997)
K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000)
_________, Etika, (Jakarta:Gramedia,1994)
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2000)
Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Jakarta : Gramedia, 2000)
Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996)
M.Abdul Mannan, Teori Dan Peraktek Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995)
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Asuransi Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1987)
Mulya E Siregar, “Peran dan perospek Perbankan Syari`ah Dalam Perekonomian Syari`ah”, makalah, Seminar Nasional Sosialisasi dan Aktualisasi Ekonomi Syari`ah, FKEBI dan FE.UISU., tanggal 3 April 2000 di Medan
M.Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi Dan Manajemen, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),h.110-111
________________, Perspektif Deklarasi Makkah : Menuju Ekonomi Islam, (Bandung : Mizan,1993), h.126-129.
________________,Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama Dan Filsafat, 1999).
_________________, Ensiklopedi Al-Qur’an:Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Muhammad Syafi`i Antoniuo, “Prinsip Dan Etika Bisnis Dalam Islam” Makalah, Seminar Dan Worshop Ekonomi Islam. FKEBI. IAIN.SU.
_________________________, Bank Syari`ah, Wacana Ulama Dan Cendikiawana, (Jakarta: BI dan Tazkia Institut, 1999).
Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah Perspektif Praktisi, (Jakarta: Mu`amalat Institut, 1999)
M.Amin Aziz, Mengembankan Bank Islam Di Indonesia, (Jakarta : Bankit, t.t)
Muh.Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996)
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000)
M.Umer Chafra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj.Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)
_____________, Islam Dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer, terj. Nur Hadi Ihsan (Surabaya ; Risalah Gusti, 1999)
_____________, Islam Dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani Pers,2000
_____________, The Future of Economics An Islamic Perspektive; Landscape Baru Perekonomian Masa Depan (Jakarta : SEBI, 2001)
Muhammad, Sistem Dan Prosedur Operasional bank Syari`ah, (Yogyakarta : UII Press, 2000)
Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam. (Jakarta ; Rineka Cipta, 1990).
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997).
_______________, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan,1992)
Mahmud Syaltut, Islam `Aqidah Wa Syari`ah,(Kairo: Dar al-Qalam, 1968)
Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahan Muslim,(Bandung: Gunung Djati Press,1999)
Nurcholis madjid, “Tafsir Islam Perihal Etos Kerja”, dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam , (ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999)
Purwanto Abdulcadir,”Prospek Takaful Di Indonesia”, dalam, Ulumul Qur’an, No. 2/VII/96
Peter Pratley, The Essence of Business Ethics , (Yogyakarta : Andi, 1995)
Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post Robbins, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM ,1978)
Robby I.Chandra, Etika Dunia Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, (Jakarta : Sinar Harapan, 1998).
Rafiq Issa Beekun, Islamic Businees Ethics, (Herndon, The International Institute of Islamic Thought, 1981).
Said Kelana, Teori Ekonomi Mikro, (Jakarta : Rajawali Pers, 1996).
Steven Pressmen, Fifty Major Economist ( Lima Puluh Pemikir Ekonomi), terj. Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
Soetrisno, Welfare State dan Welfare Society Dalam Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta:Fakultas Ekonomi UGM, 1982)
Sondang P Siagian, Etika Bisnis, (Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 19960)
Suherman Rosyidi, Pengantar Kepada Teori Ekonomi , (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h.67
Seyyed Hosein Nasr, “Perspektif Islam Perihal Etika Kerja” dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam , (ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999)
Syed Nawab Haider Naqvi, Etika Dan Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, (Bandung : Mizan, 1985)
Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta : Gema Insani Pers, 1997)
Winardi, Kapitalisme Versus Sosialisme: Suatu Analisis Ekonomi Teoritis, (Bandung: Remaja Karya, 1986)
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari`ah , Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,(jakarta: Alvabet, 1999)
Ziauddin Ahmad, Al-Qur’an , Kemiskinan Dan Pemerataan Pendapatan, (Jakarta :Dhana Bakti Prima Yasa, 1998).
______________, et.al, Money and Banking in Islam, (Islamabad: Institut of Policy Studies, 1983.)
Ziaul Haque, Riba The Moral Economy of Usury, Intrest and Profit, (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co, 1995

Di RePosting Oleh : Yusro Widiastomo S.ip Owner Deshion.com (Pusat Grosir Busana Muslim Online).

TULISAN 7 ETIKA BISNIS

Moralitas dalam bisnis

Krisis kepercayaan terhadap bisnis perbankan saat ini sampai pada titik puncak. Kasus-kasus perbankan terkini ibarat puncak gunung es bobrok perbankan selama ini. Kasus-kasus tersebut memperlihatkann secara nyata kepada kita betapa bisnis perbankan penuh dengan corengan hitam immoralitas. Tentu masih segar diingatan kita tentang megaskandal bank century senilai 1,6 triliun rupiah yang sampai saat ini tidak jelas ujungnya. Dua minggu belakang dunia perbankan kembali tercoreng lewat dua skandal yang tak kalah besarnya yakni kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank yang diduga akibat aksi kekerasan debt collector (penagih utang) dan kasus “private banking” oleh Inong Malinda Dee pada bank yang sama.

Kasus terakhir ini memang masih dalam proses hukum, namun kasus dilakoni oleh senior relationship manager bank asing ini disinyalir telah menggelapkan sedikitnya Rp. 20 miliar uang nasabah dengan bukti-bukti yang amat jelas, yakni sejumlah apartemen di jantung segi tiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lebih dari itu, kasus ini disinyalir tidak hanya terkait dengan masalah “privat banking” biasa, lebih jauh dari itu kasus ini juga terindikasi pencucian uang (money laundering) dan tidak tertutup kemungkinan kejahatan perbankan lainnya juga ikut serta bersamanya.

Menganalisis kasus-kasus perbankan yang terjadi, tentu banyak perspektif yang dapat diajukan terutama dari segi hukum perbankan. Dalam kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank (Irzen Octa) misalnya, benar bahwa setiap utang harus dibayar namun tentu caranya bukan dengan perbuatan melawan hukum dan perbuatan biadab. Dalam kasus megaskandal bank Century, banyak perspektif yang dapat diajukan dari mulai kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pihak bank hingga aspek politik tingkat tinggi yang juga sangat kental mengitarinya. Sedangkan dalam masalah private banking lain lagi, dari mulai pelanggaran prosedur perbankan yang dinilai sebagai pelayanan istimewa kepada nasabah tertentu, sampai kepada kemungkinan terjadinya potensi pencucian uang (money laundering).

Terlepas dari berbagai perspektif yang dapat kita ajukan prihal problematika perbankan saat ini, namun yang penting ditegaskan bahwa persoalan moralitas adalah kunci utama penyebab hal ini semua. Sebaik apapun sistem, regulasi atau prosedur yang diterapkan dalam bisnis ini, moralitas pelaku bisnis adalah kunci segalanya.

Karena itulah, dalam bisnis (bahkan seluruh dimensi-dimensi kehidupan berdasarkan syariah) meniscayakan moralitas sebagai dasarnya. Moralitas atau akhlak (jika diurai lebih lanjut terdapat perbedaan antara moralitas dan akhlak, dalam tulisan ini disamakan) adalah prasyarat dalam menjalankan semua aktivitas dimensi kehidupan termasuk dalam bisnis.

Dalam khazanah sistem pendidikan dan dakwah, Rasulullah Saw. menyiapkan landasan moral lebih lama ketimbang sistem ibadah, hukum, sosial, tata negara dan seterusnya. Dari 23 tahun masa tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad Saw., 13 tahun pertama dihabiskan untuk menyiapkan landasan moral yang berlandaskan tauhid. Sampai-sampai penataan ibadah (dalam artian ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat) hanya ditata pada 10 tahun terakhir masa kerasulan.

Hal ini menunjukkan, dalam perspektif Islam bahwa landasan akhlak inilah yang menjadi kunci sukses-tidaknya seluruh dimensi kehidupan manusia. Shalat yang sangat berdimensi ibadah sekalipun dapat “dikorupsi” oleh orang yang tidak berakhlak, apakah dari segi waktu, substansi bahkan pelaksanaannya sendiri. Demikian pentingnya kedudukan akhlak dalam menata kehidupan.

Kedudukan akhlak dalam bisnis dalam perspektif Islam
Apa yang dimaksud dengan maoralitas bisnis dalam perspektif syariah?. Menurut Bukhari Alma, moralitas bisnis menurut Al-Quran dan hadis adalah nilai-nilai moral Islam yang berhubungan dengan aktifitas bisnis. Secara umum moralitas dalam bisnis Islam terdiri dari enam (6) prinsip utama, yakni kebenaran, kepercayaan, kejujuran, ketulusan, pengetahuan, dan keadilan. Tidak jauh berbeda dari itu, menurut Rafik Issa Beekum menjelaskan sistem etika Islam terdiri dari lima (5) konsep kunci, yaitu, keesaan, keseimbangan, kehendak bebas, tanggung jawab, serta kebajikan. Perbedaan mendasar moralitas bisnis Islami dengan moralitas bisnis non Islami adalah, jika landasan normatif etika bisnis islami adalah Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw., yang menjelaskan bahwa seluruh aktivitas bisnis dalam berbagai macam bentuknya tidak membatasi jumlah kepemilikan harta seseorang, baik barang maupun jasa, namun membatasi cara perolehan dan pemanfaatan harta tersebut yang dikenal dengan aturan halal dan haram, sedangkan landasan normatif moralitas bisnis non islami adalah hasil perenungan dari kitab-kitab suci yang mereka yakini, atau filsafat yang lahir dari perenungan mereka mengenai bagaimana menjalankan bisnis di atas landasan etika, namun tidak dibingkai aturan halal dan haram sebagaimana yang terdapat Islam. (A. Darussalam, 99).

Disinilah keunikan ekonomi Islam, berpadunya antara ekonomi dan akhlak, sampai-sampai Penulis Prancis dalam bukunya “Islam dan Perkembangan Ekonomi” mengakui bahwa Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi. Keduanya satu kesatuan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Perbankan di Indonesia
Dalam konteks perbankan di Indonesia saat ini, pentingnya akhlak dalam dunia bisnis termasuk perbankan hendaknya dilakukan dengan membentuk sistem moralitas yang terpadu. Salah satu yang penting diperhatikan adalah sistem pengrekrutan pegawai perbankan seyogyanya sangat memperhatikan aspek akhlak sebagai aspek yang terpenting. Psikotes bagi pelamar pegawai bank hendaknya memasukkan “nilai aklak” dengan sistem yang terbentuk. Apalagi, bisnis perbankan adalah industri yang penuh resiko. Pengelolaan resiko tidak hanya dapat dihadapi dengan pengalihan resiko kepada bentuk lain.

Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawasan bank di Indonesia seyogyanya melakukan sistem supervisi yang berdimensi jangka panjang dan langggeng yang berlandaskan moralitas. Dalam sebuah wawancara dengan pejabat BI tentang masalah ini menunjukkan pejabat BI tidak mampu melihat akar persoalan secara utuh. Misalnya, ketika ditanya bagaimana penyelesaian resiko hilangnya dana nasabah bank, sebab banyak potensi resiko bank adalah tinggi seperti terjadinya pencurian oleh pihak karyawan. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan pengalihan resiko tersebut dengan cara mengasuransikan. Maksudnya, jika terjadi pencurian karyawan akan diganti oleh asuransi. Demikian juga dengan persoalan kasus tewasnya nasabah Citibank yang dilakukan oleh penagih utang. Dengan mudah, pejabat BI mengatakan pihak bank hendaknya memasang CCTV dalam ruang pertemuan. (Tempo, 2011).

Bahwa cara-cara yang dibuat oleh BI dapat saja dibenarkan dari sisi teknis pengelolaan resiko perbankan, seperti mengelola resiko pencurian uang dengan mengasuransikannya kepada pihak asuransi, demikian juga memasang CCTV pada setiap ruangan sehingga seluruh kejadian pada ruangan dapat dipantau. Namun apakah cara-cara seperti itu dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas?. Bukankah hal tersebut membuat kesan bahwa boleh saja seseorang melakukan tindakan penipuan sebab semua telah diasuransikan. Bukankah modus operandi pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat “lepas” dari pengawalan CCTV?

Oleh karena itu, penyelesaian kasus immoralitas perbankan harus dilakukan dengan membuat sistem yang berdimensi jangka pajang dan lebih bersifat preventif. Dalam hal ini sistem yang menjadi moralitas menjadi pilihan utama dengan berbagai cara yang bersifat teknis. Upaya untuk melakukan perekrutan pegawai dengan mementingkan moralty skill mutlak dilakukan, demikian juga melakukan penyegaran moralitas dalam sistem pegawai dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencerdasan spiritual quation dapat menjadi pilihan disamping tentunya memperbaiki sistem yang “bolong” yang terjadi selama ini. Wallahu’alam.

Penulis adalah Dosen Hukum Bisnis Fak. Syariah IAIN Sumatera Utara

TULISAN 6 ETIKA BISNIS

Etika Bisnis, Otoritas Moral dan Sekolah - Kasus Penasaran Kebutaan Bisnis Sekolah

Berikut adalah beberapa berita lama: Kita harus melakukan pekerjaan yang lebih baik mendeteksi penipuan Bisnis. Berikut adalah berita sedikit lebih lama:
Kita tidak bisa mempercayai siapa pun dekat dengan scam potensi untuk memperingatkan kita - karena mereka tidak akan. Dan itu tidak akan peduli bahwa mereka adalah alumni dari bisnis kami yang terbaik dan sekolah-sekolah hukum.

Apakah itu Enron,Bernard Madoffatau sub-prime mortgage kegagalan, kekacauan pribadi dan keuangan yang mereka tempa hampir tak terhitung. Hebatnya, tak seorang pun melangkah untuk intervensi sampai setelah kerusakan besar sudah dilakukan. Terbaik kami dan hanya tampak cemerlang dengan cara lain ...
Oleh karena itu penipuan ini menyoroti dua krisis terbesar di dunia Etika bisnis kami menghadapi - krisis-krisis

(A) kecurangan luas dan
(B) orang menyaksikan dan melakukan apa-apa sebagai orang di sekitar mereka curang.
Krisis ini juga bertugas untuk menyoroti kasus aneh kebutaan kita sekolah bisnis karena mereka terus mengandalkan teori-teori rakyat didiskreditkan karena mereka terus mengeluarkan generasi scammers terampil dan mereka yang melihat dengan cara lain.
Yang pertama dari teori ini mendiskreditkan rakyat - dan salah satu yang paling sering digunakan untuk menentang pengenalan program etika ke dalamSekolah bisnis kami - adalah bahwa moralitas adalah masalah karakter dan bahwa, oleh siswa saat mendaftar di program bisnis , sudah terlambat beause nilai-nilai mereka sudah terbentuk dan mati telah dilemparkan. Mereka menyimpulkan bahwa etika Oleh karena itu program yang efektif membuang-buang waktu. Yang kedua dari teori ini diam-diam menerima mendiskreditkan yang pertama, tetapi berpendapat bahwa masih mungkin untuk meningkatkan karakter.
sekolah bisnis telah gagal kami ...
Dalam mengatasi krisis ini, sekolah bisnis memiliki dampak tidak. Dan sebelum kita mendengarkan lolongan protes dari dekan, kita mungkin harus memungkinkan fakta untuk berbicara untuk diri mereka sendiri ...
Sebagai sekolah telah berusaha untuk membuat siswa mereka lebih sensitif terhadap isu-isu etika untuk mencegah penipuan dan kecurangan di masa depan, mahasiswa bisnis terlibat dalam kecurangan akademik yang lebih lebih dari siswa lain. Kecurangan dalam sekolah bisnis tetap meresap. Dan sebagai mahasiswa bisnis curang, siswa sesama mereka dan fakultas berdiri dan berpaling. Tidak ada perselisihan bahwa sangat sedikit dari mereka yang curang tertangkap. Apa ini menunjukkan adalah baik ketidakmampuan sekolah 'atau keengganan untuk melakukan apa-apa tentang kecurangan. Jadi, jika sekolah tidak dapat mengatasi krisis yang sama bahwa wajah dunia bisnis, bagaimana kita bisa mengharapkan alumni mereka untuk mengatasi krisis-krisis ini baik secara efektif atau sama sekali saat mereka memasuki angkatan kerja? Sebagai penipuan terakhir konfirmasi, kita tidak bisa ...
Mungkin salah satu alasan kegagalan sekolah dalam mengatasi krisis adalah bahwa beberapa terus menggunakan teori-teori motivasi mendiskreditkan rakyat dalam pendekatan mereka terhadap masalah tersebut. Alasan lain adalah bahwa mereka berfokus pada masalah yang salah. Hal ini mungkin menjelaskan ketidakmampuan mereka untuk bertindak sebagai model peran untuk komunitas bisnis mereka melayani.
Sebuah titik awal ...
Meskipun sekolah menganggap profil tinggi sebagai skandal penipuan terutama etika, mereka sebenarnya jauh lebih. Mereka juga merupakan wabah yang serius tingkat tinggi kejahatan kerah putih.
Untuk mencegah masa depan yang sama kejahatan kerah putih, kriminolog berpendapat bahwa fokus harus pada cara untuk mengurangi kemungkinan bahwa mahasiswa bisnis akan menjadi penjahat kerah putih.
Sebaliknya, sekolah bisnis telah memilih fokus yang berbeda, yaitu, bagaimana untuk mengurangi kemungkinan
bahwa siswa mereka akan bertindak tidak etis. Ini adalah berbeda, namun terkait, pendekatan ...
Sekolah bisnis fokus pada dilema moral. Ketika mereka mengajar murid-murid mereka dengan perspektif fundamental dari Kant atau Utilitarianisme, mereka mengabaikan fakta bahwa scammers dihadapkan dengan tidak ada dilema moral. Mereka dengan demikian mengabaikan argumen kriminolog 'bahwa orang tidak melakukan kejahatan karena mereka tidak memiliki keahlian dalam penerapan Kant atau Utilitarianisme. Para kriminolog menunjukkan bahwa penjahat kerah putih tahu apa hukum dan moralitas membutuhkan dari mereka, namun masih melakukan kejahatan. Jadi, apa yang memotivasi mereka untuk melakukannya?
Apa literatur kriminologi mengungkapkan ...
Kriminologi literatur mengungkapkan bahwa motivasi moral bukan tentang karakter, atau tentang nilai-nilai. Sebaliknya, ini adalah tentang situasi di mana orang menemukan diri mereka - dan bagaimana mereka memandang situasi itu. Seperti apa yang mereka anggap orang lain berpikir tentang situasi mereka dan apa yang dapat diterima ...
Dalam bisnis, itu adalah organisasi kita menciptakan dan mengelola yang menciptakan situasi-situasi. Khususnya dalam organisasi birokrasi yang besar, kita sering menciptakan subkultur yang mengisolasi karyawan dari masyarakat luas. Hal ini dapat menjadi tempat berkembang biak bagi perilaku tidak etis dan bahkan kriminal. Kriminolog akan berpendapat bahwa jika organisasi-organisasi ini menciptakan sebuah lingkungan kelembagaan yang akan mempromosikan etika perilaku non-pidana, kita tidak dapat mengharapkan perilaku etis dan non-pidana untuk hasil.
Para pemimpin organisasi-organisasi tersebut karena itu harus maju dan menampilkan beberapa otoritas moral. Mereka jelas harus menyatakan bahwa organisasi tidak akan menerima alasan atau teknik netralisasi yang tersedia kepada karyawan untuk memaafkan perilaku kriminal dan tidak etis. Dan jika sekolah bisnis tidak mengajar ini, mereka harus - baik sehubungan dengan bagaimana siswa melakukan sendiri di sekolah dan luar sekolah.
Apa yang mendiskreditkan teori rakyat berarti ...
Karena sekolah bisnis dan manajer bisnis tidak bisa lagi mengandalkan teori rakyat pertama didiskreditkan, mereka tidak bisa lagi hanya mengangkat bahu mereka dan mengklaim bahwa kecurangan tidak masalah mereka karena is''too late''to melakukan apa-apa tentang etika.
Hal ini juga akan memaksa mereka untuk mengatasi pertengkaran kriminolog 'seperti mengapa orang lebih mungkin untuk melakukan kejahatan kerah putih. Mereka percaya bahwa orang-orang mereka telah menjadi percaya diri berbicara dalam beberapa jenis alasan untuk tindakan mereka - khususnya dimana alasan memiliki lingkungan yang mendukung dan ada peer group yang juga cenderung melihat ini sebagai alasan yang sah.
Argumen, karena itu, adalah alasan untuk menyerang atau teknik netralisasi bahwa siswa mungkin mengalami, dan mungkin tergoda untuk mempekerjakan, baik di sekolah dan ketika mereka pergi untuk karir masa depan mereka. Tanggung jawab sekolah bisnis 'adalah untuk menunjukkan ketidakcukupan alasan ini sehingga siswa akan cenderung untuk menerima mereka ketika mereka bertemu dengan mereka dalam angkatan kerja. Apakah atau tidak akan melepaskan tanggung jawab sekolah ini adalah bagi mereka untuk memutuskan. Pada saat ini, banyak yang tidak ...
Dimana ini pasti akan mengarah adalah pemeriksaan kepemimpinan dan otoritas moral - baik untuk sekolah bisnis dan komunitas bisnis yang lebih besar - dan komitmen untuk membuang teori mendiskreditkan rakyat yang telah mengakibatkan sekolah-sekolah bisnis jalan yang buntu. ...
Source: http://id.hicow.com/etika/sekolah-bisnis/bernard-madoff-2040.html

TULISAN 5 ETIKA BISNIS

Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial

OPINI | 17 June 2011 | 19:41476
Oleh : Atep Afia Hidayat -

Begitu cepatnya perkembangan yang terjadi dalam dunia bisnis, hingga secara akumulasi mampu memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi, ternyata aspek pertumbuhan itu kurang diimbangi dengan pemertaan, maka terjadilah kasus kesenjangan sosial dan ekonomi. Kesenjangan makin melebar jika upaya kearah pemerataan tidak dijalankan secara intensif.

Prinsip umum dalam dunia bisnis, yakni mencari benefit yang maksimum. Faktor modal dan berbagai sumberdaya dikerahkan untuk mendapatkan out put yang memiki nilai lebih. Untuk mencapai sasaran tersebut banyak hal yang harus “dikorbankan”, meskipun “pengorbanan” itu secara tidak langsung.

Dalam konteks “pengorbanan” tersebut seringkali terjadi penyimpangan, umpamanya tenaga kerja yang dibayar tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hingga upah tersebut tidak bisa menutupi kebutuhan dasar (basic need) dari tenaga kerja. Dalam model relasi yang demikian, berarti unsur tenaga kerja yang mensubsidi pelaku bisnis. Lantas, apakah hal tersebut tidak menyimpang dari etika bisnis? Apakah pelaku bisnis yang bertindak bisa dikatakan memiliki tanggungjawab sosial?

Tenaga kerja merupakan faktor produksi, di samping modal, bahan baku, mesin dan lahan. Para pelaku bisnis biasanya berupaya menekan ongkos produksi, yakni untuk memperoleh benefit yang maksimum. Upah tenaga kerja yang dibayar rendah merupakan langkah efisiensi yang sangat keliru. Sebab, bagaimanapun tingkat upah ini akan berkaitan erat dengan tingkat produktivitas.

Upah yang rendah menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan fisik minimum (KFM), lebih jauh lagi akan menimbulkan penurunan motivasi kerja. Padahal, tenaga kerja merupakan aset terpenting bagi setiap perusahaan, merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahya produktivitas dan efisiensi perusahaan.


Etika Bisnis dan HIP

Mulai tahun 1975 diperkenalkan kebijaksanaan mengenai ketenagakerjaan dalam bentuk HIP (hubungan Industrial Pancasila). Di dalam HIP diatur antara pelaku proses produksi (tenaga kerja), pengusaha pemilik modal (pelaku bisnis), konsumen dan pemerintah, supaya antara unsur-unsur tersebut terjadi interaksi dengan sifat saling mufakat dan saling merasa memiliki. Dalam HIP juga pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai KKB (Kesepakatan Kerja Bersama), yang meliputi ketentuan upah minimum (KUM), jaminan keselamatan kerja dan tunjangan.

Etika bisnis dalam kaitannya dengan masalah ketenagakejaan sebenarnya sudah cukup dirinci di dalam HIP. Tetapi, ternyata sampai saat ini penyimpangan-penyimpangan dari etika tersebut sering terjadi.

Agar perkembangan bisnis selalu dalam kondisi yang sehat, maka etika bisnis harus tetap ditegakkan. Sebab, bagaimanapun bisnis bukan sekedar kegiatan ekonomi semata, tetapi, juga menyangkut tanggungjawab sosial. Bisnis akan terus tumbuh jika lingkungan sosial kondusif. Lingkungan sosial meliputi tenaga kerja dengan segenap permasalahannya. Gejolak sosial yang muncul, seperti dalam bentuk aksi pemogokan, akan menimbulkan kemandegan pertumbuhan perusahaan.


Menyangkut Masyarakat

Bisnis tumbuh ditengah-tengah masyarakat, bahkan segala aktivitas selalu berkaitan erat dengan masyarakat. Dengan demikian masyarakat senantiasa menerima dampak eksternal dari berbagai kegiatan bisnis, baik dampak positif atau negatif.

Umpamanya dengan pembukaan industry baru, dampak eksternal positif yang muncul, antara lain terjadinya penyerapan tenaga kerja. Selain itu, terjadi juga peningkatan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dengan munculnya bisnis baru ditengah-tengah masyarakat, bisa memacu kegiatan perekonomian domestic. Hal itu ditandai dengan meningkatnya keluar masuk uang dan barang, juga sarana transportasi menjadi tersedia. Beberapa kota baru tiba-tiba muncul dan banyak diekspos, misalnya Cikampek, Cikarang, Cilegon, Bontang, Batam dan Lhoksumawe. Kota-kota kecil tersebut dulunya kurang dikenali, lantas mendapat perhatian besar, antara lain karena kehadiran berbagai aktivitas bisnis, terutama sektor industri.

Dengan munculnya kawasan bisnis baru, masyarakat disekitarnya akan mengalami transformasi sosial, ekonomi bahkan budaya. Arah transformasi tersebut bisa positif, bisa pula sebaliknya. Contoh yang negatif, umpamanya meningkatnya budaya komsumerisme dan pemindahan status kepemilikan lahan.

Dengan dibukanya kawasan industri baru atau pusat-pusat bisnis, terjadilah upaya pembebasan tanah, kasus ini bisanya menyebabkan kekurangpuasan dalam hal ganti-rugi, yang penyelesaiannya bisa berlarut-larut. Jika penanganan proses “pemindahan status pemilik lahan” ini kurang seksama dan tidak disertai tanggungjawab sosial, maka bisa menimbulkan dampak eksternal bisnis yang negatif, yakni meluasnya pengangguran dan kemiskinan.

Kehadiran berbagai sektor bisnis di tengah-tengah masyarakat, selalu menimbulkan dampak eksternal positif dan negatif. Masalahnya, jenis dampak eksternal yang mana paling dominan. Di sinilah letak pentingnya etika bisnis dan tanggungjawan sosial, bisnis tidak semata-mata mengejar keuntungan, tetapi juga berupaya untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Paling tidak, kegiatan bisnis tersebut tidak merugikan masyarakat.


Menyangkut Lingkungan

Aktivitas bisnis terutama sektor industri, seringkali menimbulkan dampak lingkungan yang negatif. Dalam berbagai proses produksi dihasilkan gas polutan atau limbah bentuk padat dan cair. Dampak dari pelimbahan yakni merosotnya mutu lingkungan yang secara langsung menyebabkan merosot pula mutu hidup masyarakat sekitarnya. Udara yang dihirup menjadi tercemar. Selain itu, limbah banyak berupa racun yang dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat.

Jika kasus pelimbahan dan polutan sudah tak terkendalikan lagi, maka sudah menunjukkan terjadinya penyimpangan etika bisnis dan degredasi tanggungjawab sosial dari pelaku-pelaku bisnis. Padahal biaya kompensasi untuk merehabilitasi lingkungan yang rusak jauh lebih mahal, juga biaya itu hanya sebagian kecil saja yang ditanggung pelaku bisnis, sebagian besar lainnya justru ditanggung oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, atau subsidi dari pemerintah.

Ternyata, berbagai aktivitas bisnis memerlukan filosofi bisnis, yakni etika bisnis dan tanggungjawab sosial, yang harus benar-benar di realisasikan, antara lain untuk meredam terjadinya dampak internal atau eksternal yang negatif. Dengan diterapkannya etika bisnis yang disertai tanggungjawab sosial, bisnis akan tumbuh dan berkembang karena terciptanya iklim dan lingkungan yang kondusif. Bisnis dalam kondisi yang demikian diharapkan bisa memacu terjadinya pemerataan. (Atep Afia)

TULISAN 4 ETIKA BISNIS

Etika, Moralitas dan Bisnis

Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang sangat penting.
Apa yang diharapkan dan mengapa kita mempelajari Etika Bisnis?
Menurut K. Bertens ada 3 tujuan yang ingin dicapai yaitu :
Ø Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis.
Menanmkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu
Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.
Ø Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat.
Dalam etika sebagai ilmu, bukan baja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.
Ø Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat di dalam profesinya (kelak)
Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan. Apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabanya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.
Apa yang dimaksud dengan etika?
Etika dan moralitas sering dipertukarkan dengan pengertian yang sering disamakan begitu saja. Ini sesunggguhnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang sama sekali berbeda dengan moralitas. Etika berasal dari kata Yunani Ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti ada istiadat. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke genarasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.
Yang menarik disini, dalam pengertian ini etika justru persis sama dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi, dalam pengertian pertama ini, yaitu pengertian harfiahnya, etika dan moralitas, sama-sama berarti system nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan pada umumnya system nilai, sebagai sebuah kebiasan hidup yang baik, lalu diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan dalam bentuk aturan atau norma yang diharapkan menjadi pegangan setiap penganut agama dan kebudayaan tersebut. dalam hal ini agama dan kebudayaan lalu dianggap sebagai sumber utama nilai moral dan aturan atau norma moral dan etika. Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dan dikenal dalam agama lain. Tanpa ingin memasuki diskusi yang rumit tentang soal ini, secra umum dapat dikatakan bahwa nilai moral yang dalam semua agama sampai tingkat tertentu dapat diandaikan sama. Alasan sederhananya, karena moralitas dan etika menyentuh kehidupan manusia sebagai manusia terlepas dari agama dan budaya yang dianutnya. Agam dan budaya hanyalah wadah yang melembagakan nilai dan aturan moral tentang bagaimana manusia hidup secara baik sebagai manusia. Dengan demikian etika dan moralitas member petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu. Yang berbedaanatar nilai yang dianut satu agama dan budaya dengan nilai yang dianut agama dan budaya lainnya lebih menyangkut penerapan konkret nilai tersebut. karena itu, misalnya semua agama mengutk pemerkosaan, penindasan, pembunuhan, penipuan dan seterusnya.
Kedua, etika itu juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian kedua ibni, etika mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dari moralitas dan etika dalam pengertian pertama di atas. Etika dalam pengertian kedua ini dimengerti sebagai filsafat moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian yang pertama di atas. Dengan demikian, etika dalam pengertian pertama, sebagaimana halnya moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupannya. Ia berkaitan dengan perintah dan larangan langsung yang bersifat konkret. Maka, etika dalam pengertian ini lebih normative dank arena itu lebih mengikat setiap pribadi manusia.
Sebaliknya etika dalam pengertian kedua sebagai filsafat moral tidak langsung member perintah konkret sebagai pegangan siap pakai. Sebagai sebuah cabang filsafat, etika lalu sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma moaral serta permasalahan-permasalahan moral yang timbul dalam kehidupan manusia, khususnya dalam bermasyarakat. Dengan demikian, etika dalam pengertian kedua dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma –norma moral yang umum diterima.
Dalam kaitan dengan tiu, ketika Magnis-suseno mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan ajaran, yang ia maksudkan adalah etika dalam pengertian kedua ini. Sebagai sebuah ilmu yang terutama menitikbertakan refleksi kritis dan rasional, etika dalam pengertian yang keuda ini lalu bahkan mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus dilaksanakan dalam situasi konkret tertentu yang dihadapi seseorang. Atau juga, etika mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan dengan nilai dan norma moral tertentu harus dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dank arena itu dikutuk atau justru sebaliknya.


Daftar Pustaka
Ø Keraf, Dr. A Sony. 1998. Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya. Kanisius. yogyakarta
Ø http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS
Ø http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1238/1/manajemen-ritha8.pdf

TULISAN 3 ETIKA BISNIS

PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM BISNIS

Bisnis dan perusahaan merupakan satu kesatuan dimana, bisnis sudah mencakup perusahaan. bisnis bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga kebutUhan pemilik perusahaan penghasil produk tersebut. tujuan dari bisnis adalah laba, dimana laba yang didapatkan perusahaan akan dialiri kembali ke divis-disvis perusahaan. oleh karena itu, agar perusahaan tetap going concern maka perusahaan harus mendapatkan laba dimana penghasilan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk mendapatkan laba perusahaan harus berani bersaing dengan pesaing lain. Dalam persaingan tersebut, perusahaan menghalakan segala cara. Salah satunya adalah dengan membandingkan produknya dengan produk yang lain, sehingga mereka melupakan etika bisnis. Apabila hal ini terus berlanjut maka akan terjadi perpecahan di dunia bisnis, oleh sebab itu untuk menjaga perdamaian tersebut perusahaan harus menjaga etika dalam berbisnis dengan tidak menyinggung produk lain, dalam iklan yang ditayangkan sehingga, perpecahan dapat terhindari.
Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari masyarakat konsumen dilakukan melalui persaingan usaha yangfair (jujur), transparent (terbuka), dan ethic (etis). Perbuatan yang termasuk dalam kategori unethical conduct misalnya memberikan informasi yang tidak benar mengenai bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan tender, dan melakukan persaingan tidak sehat.

Contoh kasus persaingan tidak sehat dalam bisnis :
JAKARTA - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) kembali membuka kasus dugaan persaingan tidak sehat dalam proyek konsorsium Donggi-Senoro.
Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi menyatakan bahwa dibukanya kembali kasus yang ditutup pada Juni 2009 tersebut merupakan insiatif dari KPPU sendiri dan bukan diajukan kembali oleh pihak yang melaporkan terdahulu yaitu PT LNG Energi Utama.
"Iya benar, kami (KPPU) telah membuka kembali pemeriksaan pendahuluan terhadap adanya indikasi persaingan tidak sehat mulai 3 Juni kemarin.Pemeriksaan perkara monitoring ini adalah insiatitif dari KPPU," ujarnya saat dikonfirmasi okezone terkait dibukanya kembali masalah yang telah ditutup setahun lalu tersebut, di Jakarta, Jumat (4/6/2010).
Menurutnya, pemeriksaan pendahuluan itu memerlukan waktu 30 hari kerja untuk membuktikan adanya pelanggaran atau tidak terhadap UU No. 5/2009 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat pasal 22 tentang adanya dugaan persekongkolan tender dan pasal 23 tentang penggunaan informasi dari pesaing. Berdasarkan monitoring dari KPPU menemukan beberapa bukti dan connect dengan indikasi pelanggaran sehingga KPPU berkepentingan untuk membuka lagi masalah tersebut.
"Perlu 30 hari kerja untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, kira-kira pertengahan Juli sudah selesai untuk itu," ujarnya.
Nantinya, setelah pemeriksaan pendahuluan selesai dilakukan. Pihaknya akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terlapor dengan melampirkan surat keterangan adanya dugaan penyimpangan.
Jika terlapor terindikasi melakukan pelanggaran, maka KPPU akan melanjutkannya pada pemeriksaan lanjutan, namun akan dihentikan jika tidak terindikasi terdapat pelanggaran. "Kita akan memanggil para terlapor jika ada indikasi dugaan pelanggaran," ujarnya.
Dirinya kembali menjelaskan bahwa pembukaan kembali kasus yang ditutup setahun yang lalu ini merupakan inisiatif KPPU dan karena masih dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, maka belum ada pembicaraan lanjutan terkait masalah sanksi.
"Pemeriksaan pendahuluan ini belum bicara soal sanksi, itu soal nanti, jadi saya belum ada komentar," ujarnya.
Dia menyatakan, penutupan kasus ini tahun lalu karena berkas laporan yang diterima KPPU tidak jelas dan tidak lengkap sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut
"Yang laporannya tidak jelas dan tidak lengkap," tandasnya.
Sebelumnya, PT LNG Energi Utama (LEU) yang merupakan pihak yang pelapor kasus ini menyatakan bahwa KPPU akan kembali membuka kasus ini atas dasar insiatif KPPU sendiri, pada Senin 18 Januari lalu.
LEU sebelumnya telah memasukkan laporan adanya kecurangan yang dilakukan oleh Mitsubishi Corporation dalam proyek Donggi Senoro dengan berpartner dengan Pertamina-Medco, sebanyak dua kali ke KPPU, namun KPPU menghentikan laporan tersebut dengan alasan laporan EU tidak jelas dan tidak lengkap.
Sumber : http://economy.okezone.com/read/2010/06/04/320/339615/320/kasus-persaingan-tak-sehat-donggi-senoro-kembali-dibuka

TULISAN 1 ETIKA BISNIS

Koeksistensi Pasar Modern dan Pasar Tradisional

Menjadikan pertumbuhan pasar modern, mulai dari minimarket sampai hypermarket di beberapa kota di Indonesia sebagai kambing hitam penyebab semakin tergusurnya pasar tradisional, bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga tidak tepat sasaran.

Justru sebaliknya, hal ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bukti kegagalan pemerintah daerah sebagai pengelola pasar tradisional karena masih mengelola pasar tradisional secara tidak profesional, akuntabel dan kreatif. Sehingga tidak mampu mengantisipasi ekspansi bisnis yang dilakukan oleh grup perusahaan-perusahaan ritel besar dan menimbulkan persepsi keliru banyak pihak yang menganggap keserakahan grup perusahaan-perusahaan ritel besar inilah yang menjadi penyebab utama semakin terpuruknya nasib pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional karena banyak pelanggan mereka yang beralih ke pasar modern. Padahal permasalahannya tidaklah sesederhana itu.

Asumsi sebagian masyarakat, terutama mahasiswa dan pengamat ekonomi bahwa keberadaan pasar modern hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat dari golongan menengah ke atas harus dibuktikan secara empiris. Karena faktanya, konsumen yang berbelanja di pasar modern bukan hanya masyarakat dari golongan menengah ke atas, tetapi juga dari golongan menengah dan menengah ke bawah. Buruh pabrik misalnya, pendapatan sebagian buruh pabrik yang mengalami peningkatan di atas angka inflasi tiap tahun berdampak pada pergeseran perilaku konsumsi mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari dengan cepat, mudah dan nyaman yang tentunya hanya bisa mereka nikmati dengan berbelanja di pasar modern. Sementara pasar tradisional umumnya becek, kotor dan semrawut. Terbukti dari semakin banyaknya pasar modern yang berlokasi di sekitar kawasan industri di mana para buruh tersebut bekerja.

Berdasarkan fakta tersebut, penulis berpendapat bahwa permasalahannya terletak pada mismanajemen pasar tradisional itu sendiri. Oleh karena itu perda-perda yang mengatur dan membatasi pendirian pasar-pasar modern baru perlu dikaji ulang agar justru tidak menimbulkan permasalahan baru di masa mendatang. Di samping itu, seharusnya pengelola pasar tradisional belajar dari kesuksesan pengelola pasar modern dalam mengembangkan usahanya.

Bagaimanapun koeksistensi pasar tradisional dan pasar modern akan terus berlangsung mengikuti dinamika perekonomian. Selama keberadaannya tidak merugikan kepentingan masyarakat luas, terutama konsumen, baik pasar tradisional maupun pasar modern akan terus dibutuhkan masyarakat karena kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Hal yang seharusnya menjadi prioritas para pembuat kebijakan adalah bagaimana menjaga koeksistensi ini terus berlangsung secara lebih sinergis dan memberikan kontribusi ekonomis lebih luas lagi bagi masyarakat sekitar. Alih-alih memberikan solusi yang berpihak pada rakyat kecil, para pembuat kebijakan, khususnya pemerintah daerah justru menjadi sumber permasalahan utama karena makin sibuk memperkaya dirinya sendiri dengan terus menarik pajak, retribusi dan pungutan-pungutan liar lainnya dari pedagang-pedagang kecil, tanpa ada timbal balik yang nyata dari para birokrat parasit ini.

Sementara sampah-sampah terus menggunung, penggusuran dan kebakaran terus terjadi di pasar-pasar tradisional, para birokrat parasit sedang berbelanja bersama keluarganya di pasar modern yang sejuk dan nyaman.


Bekasi, 31 Januari 2011


(Hartono)
Mahasiswa Jurusan Manajemen 2008
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma

TULISAN 1 ETIKA BISNIS

Koeksistensi Pasar Modern dan Pasar Tradisional

Menjadikan pertumbuhan pasar modern, mulai dari minimarket sampai hypermarket di beberapa kota di Indonesia sebagai kambing hitam penyebab semakin tergusurnya pasar tradisional, bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga tidak tepat sasaran.

Justru sebaliknya, hal ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bukti kegagalan pemerintah daerah sebagai pengelola pasar tradisional karena masih mengelola pasar tradisional secara tidak profesional, akuntabel dan kreatif. Sehingga tidak mampu mengantisipasi ekspansi bisnis yang dilakukan oleh grup perusahaan-perusahaan ritel besar dan menimbulkan persepsi keliru banyak pihak yang menganggap keserakahan grup perusahaan-perusahaan ritel besar inilah yang menjadi penyebab utama semakin terpuruknya nasib pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional karena banyak pelanggan mereka yang beralih ke pasar modern. Padahal permasalahannya tidaklah sesederhana itu.

Asumsi sebagian masyarakat, terutama mahasiswa dan pengamat ekonomi bahwa keberadaan pasar modern hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat dari golongan menengah ke atas harus dibuktikan secara empiris. Karena faktanya, konsumen yang berbelanja di pasar modern bukan hanya masyarakat dari golongan menengah ke atas, tetapi juga dari golongan menengah dan menengah ke bawah. Buruh pabrik misalnya, pendapatan sebagian buruh pabrik yang mengalami peningkatan di atas angka inflasi tiap tahun berdampak pada pergeseran perilaku konsumsi mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari dengan cepat, mudah dan nyaman yang tentunya hanya bisa mereka nikmati dengan berbelanja di pasar modern. Sementara pasar tradisional umumnya becek, kotor dan semrawut. Terbukti dari semakin banyaknya pasar modern yang berlokasi di sekitar kawasan industri di mana para buruh tersebut bekerja.

Berdasarkan fakta tersebut, penulis berpendapat bahwa permasalahannya terletak pada mismanajemen pasar tradisional itu sendiri. Oleh karena itu perda-perda yang mengatur dan membatasi pendirian pasar-pasar modern baru perlu dikaji ulang agar justru tidak menimbulkan permasalahan baru di masa mendatang. Di samping itu, seharusnya pengelola pasar tradisional belajar dari kesuksesan pengelola pasar modern dalam mengembangkan usahanya.

Bagaimanapun koeksistensi pasar tradisional dan pasar modern akan terus berlangsung mengikuti dinamika perekonomian. Selama keberadaannya tidak merugikan kepentingan masyarakat luas, terutama konsumen, baik pasar tradisional maupun pasar modern akan terus dibutuhkan masyarakat karena kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Hal yang seharusnya menjadi prioritas para pembuat kebijakan adalah bagaimana menjaga koeksistensi ini terus berlangsung secara lebih sinergis dan memberikan kontribusi ekonomis lebih luas lagi bagi masyarakat sekitar. Alih-alih memberikan solusi yang berpihak pada rakyat kecil, para pembuat kebijakan, khususnya pemerintah daerah justru menjadi sumber permasalahan utama karena makin sibuk memperkaya dirinya sendiri dengan terus menarik pajak, retribusi dan pungutan-pungutan liar lainnya dari pedagang-pedagang kecil, tanpa ada timbal balik yang nyata dari para birokrat parasit ini.

Sementara sampah-sampah terus menggunung, penggusuran dan kebakaran terus terjadi di pasar-pasar tradisional, para birokrat parasit sedang berbelanja bersama keluarganya di pasar modern yang sejuk dan nyaman.


Bekasi, 31 Januari 2011


(Hartono)
Mahasiswa Jurusan Manajemen 2008
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma

TUGAS 2 ETIKA BISNIS

Prinsip – prinsip sebagai pedoman kegiatan sehari – hari dan pendorong bagi setiap orang dalam kegiatan berbisnis, antara lain :

a. Semangat pelayanan prima yang dilakukan
Ini merupakan salah satu factor yang sangat penting sekali yang sangat di jaga oleh para pelaku bisnis dalam melayani para konsumennya. Dengan adanya pelyanan prima, konsumenpun akan terpuaskan, kan merasa nyaman. Kepuasan konsumen merupakan salah satu tujuan dari pelaku bisnis manapun disamping memaksimumkan laba.
Contoh : Suasana nyaman yang ada disekitar perusahaan dan keramah-tamahan karyawan
b. Semangat fairness
Ini merupakan salah satu dari begitu banyaknya prinsip yang mungkin tidak kita lihat lagi di dalam kehidupan bisnis sehari-hari. Tidak perlu di dalam duia bisnis dengan skala besar, di dalam dunia bisnis dengan skala yang lebih kecilpun fairness ini sulit sekali kita temui, terlalu banyak sekali manipulasi dalam dunia bisnis. Sebenarnya bila semangat fairness ini kita junjung selalu di dalam dunia perbisnisan akan timbul sebuah persaingan yang sehat, dimana para pelaku bisnis akan saling berlomba untuk memajukan usahanya dengan cara yang wajar.
Contohnya: Seorang pedagang yang memberikan harga discount yang sama pada setiap konsumennya walaupun yang beli adalah saudaranya sendiri.
c. Semangat harmonis dan kerjasama
Harmonis dan kerjasama ini tidak menyangkut keharmonisan dan kerjasama antar para pegawai perusahaan atau pabrik saja, tetapi menyangkut pula keharmonisan dan kerjasama antar pelaku bisnis. Bila hal ini mampu diterapkan oleh masing-masing pelaku bisnis laba maksimumpun tidak mustahil akan didapat dengan mudah dengan adanya saling kerjasama.
Contohnya: Dalam melakukan kegiatan bisnis sebuah perusahaan tidaklah mempunyai seseorang yang berperan paling penting dalam menjalankan kegiatan perusahaannya, sebuah perusahaan tentunya akan saling membutuhkan antar organisasinya sehingga dibutuhkan kejasama yang harmonis dalam menjalankan kegiatannya.
d. Semangat kerja keras untuk maju
Semangat ini harus ditanamkan kedalam diri kita sedini mungkin karena dengan kerja keras apa yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Seperti kebanyakan orang bilang bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, ketika kita berkerja keras sekeras-kerasnya di akhir nanti kita akan menuai hasil dari kerja keras kita tersebut. Tanpa kerja keras apa yang kita inginkan rasanya sulit tercapai.
Contohnya : disaat kita mengenyam bangkku pendidikan kita belajar dengan giat, mampu mendapatkan nilai maksimal, berprestasi, dan pada akhirnya kita akan menuai dari semua usaha kita tersebut dengan mendapatkan cita-cita kita
e. Semangat hormat dan rendah hati
Semangat Hormat dan Rendah harus dilakukan oleh siapa saja dan kepada siapa saja, waktu dan tempat kapanpun dimanapun, atasan dan bawahan, tua dan muda di suatu perusahaan. Dengan begitu akan tercipta Semangat Harmonis dan Kerjasama dengan tercapainya suatu tujuan yang di cita – citakan. Tidak memandang strata atau jabatan di dalam suatu perusahaan, karena jika tidak ada seorang Office Boy didalam perusahaan maka tidak akan ada yang membuatkan kopi bagi manajer. Hal ini merupakan contoh kecil dimana strata atau jabatan apapun memiliki perannya masing – masing dan memiliki tugasnya masing – masing. Jika dalam suatu sistem tatanan perusahaan tidak memiliki atau bahkan kehilangan satu sistem saja maka tidaka akan berjalan lancar di perusahaan tersebut atau bahkan akan terhenti dari produktifitas perusahaan selama ini.
f. Semangat mengikuti hukum alam
Mungkin hukum alam yang dimaksud ini seperti yang kuat akan menang dan yang lemah akan hancur. Hukum ini akan memotivasi diri kita uuntuk selalu di atas, untuk selalu berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan. Untuk tidak menyerah hingga apa yang kita inginkan itu menjadi kenyataan.
Contohnya: Seorang pengusaha yang selalu bersemangat dalam mengikuti hukum alam dalam dunia bisnis dia akan sangat mungkin mendapatkan kesuksesan dalam berbisnis karena dia adalah orang yang taat aturan dalam berbisnis.
g. Kejujuran pangkal sukses
Ini merupakan sebuah kalimat yang mungkin saat ini dipandang sebagai kalimat omong kosong belaka oleh kebanyakan para pelaku bisnis, jika kita ingin sukses akalpun harus ikut bermain dengan kejujuran bukan keuntungan yang akan kita dapat malah yang ada hanya kerugian karena kita akan dengan mudahnya diperdaya orang. Mungkin itu saat ini yang ada di dalam otak para pelaku bisnis jadi tidak ada yang namanya kejujuran pangkal sukses
Contohnya: Seorang pedagang di suatu pasar bisa sangatlah sukses samapai bisa menyekolahkan anak-anaknya mencapai sarjana karena pedang tersebut jujur terutama pada timbangannya yang mana membuat pedagang tersebut disukai atau dipercaya oleh konsumen.
h. Semangat bersyukur
Ini adalah hal yang terpenting dari yang terpenting,”semangat bersyukur”. Dengan bersyukur apapuan hasil yang kita dapatkan akan terasa nikmat rasa bersyukur ini akan mendatangkan kepuasaan dan ketenangan tersendiri bagi hati kita
Contohnya: Subahanallah, walhamdu lillah, wa la ilaha illallahu wallahu akbar! Ya Allah, aku panjatkan syukur kepada-Mu atas segala nikmat dan rezeki yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan keluargaku sejak kemarin hingga saat ini. Aku bersyukur kepada-Mu atas rezeki yang Kau anugerahkan Juga atas semua nikmat dan rezeki yang tidak aku ketahui jalannya. Semoga semua yang telah Engkau anugerahkan itu menjadi berkah buat kehidupanku, keluargaku, orang-orang di sekitarku, dan terutama untuk tegaknya agama-Mu. Rabbana atina fid-dunya hasanah, wa fil-akhirati hasanah, wa qina azaban-nar, amin!

2. Pernyataan :
“Bisnis apapun adalah bagian dari sebuah sistem sosial dan atas dasar itu mempunyai hak dan tanggung jawab. Kebebasan untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomis dibatasi oleh hukum dan tersalurkan melalui kekuatan pasar bebas, tetapi tuntutan tersebut bersifat minimal, karena hanya menuntut agar bisnis menyediakan barang dan jasa yang diinginkan, bersaing secara fair dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. “
Tanggapan :
Bisnis apapaun adalah bagian dari sebuah system social itu benar. Dengan terciptanya berbagai bidang bisnis baru otomatis akan membuka banyak kesempatan kerja dan member kesempatan masyarakat untuk menjadi lebih sejahtera. Seluruh hal itu tidak lepas dari hak dan tanggung jawab si pemilik usaha tsb, bagaimana cara ia mengelola, bagaimana dia memimpin, memperlakukan karyawan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Untuk mensejahterakan karyawan dan perusahaan apalagi dengan kerasnya persaingan pasar bebas tentu saja perusahaan dituntut harus memiliki karyawan yang benar-benar cakap. agar mampu bersaing dengan perusahaan lain didalam pasar, bersaing secara fair tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.

TUGAS 1 ETIKA BISNIS

TUGAS 1 ETIKA BISNIS

Etika dalam prakteknya tidak hanya dipelajari secara teoritis tetapi, juga dalam praktek. Etika merupakan tolak ukur kesopanan dan suatu bentuk penghormatan. etika sebagai tolak ukur dalam arti pencerminan dari lingkungan tempat dibesarkannya seseorang, sedangkan penghormatan etika yang baik digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dan berbicara yang mendidik kepada orang yang lebih muda.
Terkadang etika dan pola pikir yang dewasa jarang ditrerapkan oleh orang yang lebih tua, karena mereka telah menganggap diri mereka lebih senior, tetapi pada dasarnya etika sangat baik ditanamkan dari kecil dan dicontohkan oleh orang yang lebih tua. Etika ini dapat meliputi etika, berpakaian, berbicara, berfikir dan bersikap. Tujuan ditanamkan etika sejak dini adalah agar anak tersebut dapat bertindak sopan dan dapat diterima oleh masyarakat. Penerapan etika yang paling baik adalah oleh orang tua, tidak hanya dalam bentuk pengajaran lisan tetapi juga harus wujud nyata dari orang tua. Contoh : ada sebuah keluarga dengan anak usia 7 tahun, orang tua selalu mengajrakan salam pada saat dia pergi ataupun pulang. Anak tersebut tidak mengcupkan salam, pada saat dia pergi maupun pulang sekolah. Hal ini disebabkan karena, Ayah dari anak tersebut tidak pernah mengucapkan salam apabila beliau pulang maupun ingin pergi ke kantor. Sehingga anak tersebut meniru orang tua mereka. Dari sini etika ada bukan untuk disadari saja tetapi, juga harus dipraktekkan dengan kesadaran. Berdasarkan kejadian di atas etika dapat didefinisikan sebagai ada istiadat. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke genarasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.
Sebagai mahkluk social manusia juga perlu berkomunikasi dengan mahkluk sesamanya dengan menjunjung tinggi etika agar tercipta perdamaian. Adapun etika yang harus di junjung dalam kehidupan sehari-hari adalah :
1. Jujur, tidak menipu, welas asih kepada sesama. Berkelakuan baik tidak melakukan Mo Limo, yaitu : Main/berjudi; madon/main perempuan atau selingkuh;mabuk karena minuman keras;madat menggunakan narkoba dan maling .Tentu saja tindakan jahat yang lain seperti membunuh, menista, mengakali,memeras, menyuap, melanggar hukum dan berbuat kejam ,harus tidak dilakukan.
2. Berperilaku baik dengan menghindari perbuatan salah, supaya nama baik tetap terjaga dan supaya tidak kena malu.Terkena malu bagi orang Jawa tradisional adalah kehilangan kehormatan.Ada pepatah Jawa menyatakan : Kehilangan semua harta milik itu tidak kehilangan apapun; kehilangan nyawa artinya kehilangan separoh hidup kita; tetapi kalau kehilangan kehormatan artinya kehilangan semuanya.
3. Memelihara kerukunan, bebas dari konflik diantara keluarga, tetangga, kampung, desa, selanjutnya ditingkat negara dan dunia, dimana hubungan harmonis antar manusia teramat penting. Kerusakan dan kekacauan yang timbul didunia ini, yang paling besar adalah dikarenakan oleh sikap manusia’Ingatlah pepatah : Rukun agawe santoso artinya : Rukun membuat kita sehat kuat.
4. Bersikap sabar, nrimo artinya menerima dengan ikhlas dan sadar jalan kehidupan kita dan tidak perlu iri kepada sukses orang lain Ingin hidup sukses harus berusaha dengan keras dan rajin dan mohon restu Tuhan, hasilnya terserah Tuhan.
5. Tidak bersikap egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Ada petuah : Sepi ing pamrih, rame ing gawe.artinya bertindak tanpa pamrih dan selalu siap bekerja demi kepentingan masyarakat dan kesejahteraan umat.Sikap yang demikian ,mudah menimbulkan tindakan ber-gotong royong, baik dalam lingkungan kecil maupun besar.
6. Gotong Royong adalah kerjasama saling membantu dan hasilnya sama-sama dinikmati. Ini bisa berlaku diskop kecil seperti antar tetangga kampung yang merupakan kebiasaan yang sudah berjalan sejak masa kuno. Yang digotong royongkan antara lain : sama-sama membersihkan jalan desa, memperbaiki pra sarana seperti jalan desa, saluran air, balai desa dsb.Ada juga yang bergotong royong ramai-ramai membangun rumah seorang warga dll. Jadi pada intinya gotong royong adalah kerjasama antar beberapa pihak yang menghasilkan nilai lebih dipelbagai bidang yang dikerjakan bersama tersebut. Dasar gotong royong adalah sukarela dan untuk kepentingan bersama yang meliputi bidang-bidang perawatan, pembangunan, produksi dll.Tiap peserta akan menangani bidang pekerjaan yang merupakan kemahirannya dan itu akan bersinerji dengan ketrampilan peserta lain dan “proyek” akan berjalan lancar.Berdasarkan pengalaman yang sukses dari gotong royong lingkup kecil, gotong royong bisa dipraktekkan berupa sinerji yang berskala nasional, regional, bahkan internasional.

Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :

1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.

Etika Teleologi
Dalam kehidupan sehari-hari dan berkomunikasi dengan mahkluk lain, manusia pasti memiliki kebutuhan dengannya. Dengan kata lain, manusia mempunyai tujuan dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Tujuan dalam etika biasa dikenal dengan Etika Teotologi. Berbeda dengan Etika Deontologi, etika teleology justru mengukur baik buruknya suatu tindakan bersadarkan tujuan yang ingin docapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Setiap norma kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi, jadi sejalan dengan pendapat Kant dimaksud bahwa etika teleology lebih bersifat situasiona, karena tujuan dan akbiat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Berdasarkan pemabahasan Etika Teleologis ini, muncul aliran-aliran teleologis, yaitu : Egoisme dan Utilitasrianisme.
Dalam memenuhi suatu kebutuhan setiap individual pasti lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan dengan orang lain yang mempunyai kebutuhan yang sama. Hal ini merupakan suatu bentuk keegoisan manusia yang termasuk ke dalam aliran Egoisme. Pada saat orang mengantri beras RASKIN pasti orang ingin mendapatkan beras tersebut lebih dahulu dibandingkan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh rasa egois mereka, karena mereka takut tidak mendapat jatah karena kehabisan sehingga terjadi dorong-dorongan pada saat antri beras tersebut. sehingga dari peristiwa tersebut dari ditarik kesimpulan mengenai pengertian egoisme adalah pandangan bhwa tindakan setiap orang bertujuan untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri.
Aliran dari teleology adalah utilitarianisme. Utilitarisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Tidak ada paksaan bahwa orang harus bertindak sesuai dengan cara tertentu yang mungkin tida diketahui alasannya mengapa demikian. Jadi tindakan baik itu kita putuskan dan pilih sendiri berdasarkan kriteria yang rasional dan bukan sekedar mengikuti tradisi, norma atau perintah tertentu. Orang tidak lagi merasa dipaksa karena takut akan cercaab masyarakat dan sebaginya melainkan bebas memilih alternative yang dianggapnya terbaik berdasarkan alasan-alasan yang ia sendiri akui obyektifitasnya.
Etika Deontologi
Melakukan perbuatan baik adalah suatu keharusan, orang sering menyebutnya sebagai suatu kewajiban. Keyakinan untuk melakukan yang baik dan dilakukan dengan sendirinya demi hubungan bik dan buruk dapat mengelakkan perilaku baik. Hal ini seudah demikian dalamnya tertanam pada hati manusia, yang merupakan menifestasi dari sebuah kesadaran etis manusia, yang merupakan manifestasi dari sebuah kesadaran etis manusia. Dengan kata lain, suatu tindakan itu bernilai moral karena tindakan tiu dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Proses ini adalah suatu proses etika Deontologi, etika deontology menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Emnurut para ahli Eika Deontologi, tindakan yang baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan beerdasarkan tindakan itu sendiri adalah baik untuk dirinya sendiri.
Daftar Pustaka
Ø http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS
Ø http://jagadkejawen.com/id/budi-pekerti/budi-pekerti
Øhttp://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/42024-2-485026569846.doc

Rabu, 06 April 2011

Tugas Komputerisasi Lembaga Keuangan Perbankan

NAMA: HARTONO
KELAS: 3EA10
NPM: 10208573

Soal
Atun (Tabungan 10%; Harian)
4/3 Setoran tunai Rp. 10.000.000
8/3 Pinbuk debet Rp. 5.000.000
18/3 Pinbuk kredit deposito Totok Rp. 4.000.000
25/3 Pinbuk kredit tabungan Joko Rp. 8.000.000
29/3 Pinbuk debet Giro Tutik Rp. 2.000.000
30/3 Pinbuk kredit Ani (Bank Karman) Rp. 5.000.000



Peristiwa Kliring Per 30/3
Siti Karman
Cek Tn. A Rp. 3.000.000
Cek Tn. B Rp. 4.000.000
B/G PT. C Rp. 6.000.000
B/G PT. D Rp. 5.000.000
Nota kredit Rp. 10.000.000 Cek Ani Rp. 5.000.000
Cek Joko Rp. 6.000.000
Cek Toni Rp. 8.000.000
B/G PT. X Rp. 12.000.000
B/G PT. Y Rp. 10.000.000

Tolakan Kliring
Cek Tn. B
B/G PT. D Cek Joko
B/G PT. Y


Neraca Siti Per 1/3


Asset Liabilities
Kas Rp. 50.000.000
R/K pada BI Rp. 70.000.000
Loan Rp. 400.000.000
Securities Rp. 30.000.000
Other Asset Rp. 50.000.000
Total Rp. 650.000.000 Tabungan Rp. 150.000.000
Giro Rp. 120.000.000
Deposito Rp. 230.000.000
Securities Rp. 50.000.000
Capital Rp. 100.000.000
Toatal Rp. 650.000.000

 Tabungan (10%); Deposito (12%); Giro (8%)
 Kas 10% Loan 18% ≠ lat
RR 8% ER 4% KUK 10% ≠ lat
Loan 100%
KUK 20%

Kasus
1. Portofolio Siti 1/4
2. Bunga Deposit dan bunga kredit?
3. Profit
4. Hasil Kliring

JAWABAN

Siti Bank; Tabungan Atun
4/3 Kas Rp. 10.000.000
Tabungan Atun Rp. 10.000.000
8/3 Tabungan Atun Rp. 5.000.000
Giro Rp. 5.000.000
18/3 Deposito Totok Rp 9.000.000
Tabungan Atun Rp. 9.000.000
25/3 Tabungan Joko Rp. 17.000.000
Tabungan Atun Rp. 17.000.000
29/3 Tabungan Atun Rp. 15.000.000
Giro Tutik Rp. 15.000.000
30/3 R/K pada BI Rp. 20.000.000
Tabungan Atun Rp. 20.000.000

Menggunakan metode saldo harian
Saldo harian = 10%

8/3 = 10% * 8 – 4 * 10.000.000 = Rp. 10.958,90
365
18/3 = 10% * 18 – 8 * 5.000.000 = Rp. 13.698,63
365
25/3 = 10% * 25 – 18 * 9.000.000 = Rp. 17.260,27
365
29/3 = 10% * 29 – 25 * 17.000.000 = Rp. 18.630,13
365
30/3 = 10% * 30 – 29 * 15.000.000 = Rp. 4.109,59
365
31/3 = 10% * 31 – 30 + 1 * 20.000.000 = Rp. 10.958,90 +
365

Total Bunga Rp. 75.616,42
Saldo 31/3 Rp. 20.000.000 +
Saldo Atun 1/4 Rp. 20.075.616,42

Saldo : Tabungan Joko berkurang Rp. 8.000.000
Giro Tutik bertambah Rp. 2.000.000
Deposito Totok berkurang Rp. 4.000.000

Perhitungan bunga
 Tabungan = 10% * 31 – 1 + 1 * 142.000.000 = Rp 1.206.027,39
365
 Giro = 8% * 31 – 1 + 1 * 122.000.000 = Rp. 828.931,51
365
 Deposito = 12% * 31 – 1 + 1 * 226.000.000 = Rp. 2.303.342,47
365

Yang masuk Neraca :
* Tabungan = 142.000.000 + 1.206.027,39 + 20.075.616,42 = Rp. 163.281.643,8
* Giro = 122.000.000 + 828.931,51 = Rp. 122.828.931,51
* Deposito = 226.000.000 + 2.303.342.47 = Rp. 228.303.342,47

Hasil Kliring:
-3.000.000
-4.000.000
-6.000.000
-5.000.000
+10.000.000
+5.000.000
+6.000.000
+8.000.000
+12.000.000
+10.000.000
+26.000.000 = menang kliring

Minggu, 20 Maret 2011

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA (2)

REVOLUSI

Oleh Goenawan Muhamad


Revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.

Pada usia 20, Lafayette, aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, itu berangkat ke Amerika. Ini tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.

Akhirnya—setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun—ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Dan Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik—dengan gairah yang tak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.
Pada 11 Juli 1789, dialah—yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama—yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”

Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tak bisa difotokopi.

Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan + tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.
Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik—dan namanya tak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tak bisa difotokopi, tapi ia tak pernah selesai.

Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 21 Februari 2011




Analisa kesalahan penulisan dan penggunaan tanda baca


Pada paragraf pertama, terdapat kesalahan pemenggalan kalimat seharusnya tidak terlalu banyak, sehingga bisa disatukan menjadi: Revolusi tidak bisa difotokopi dan dipesan, mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern.

Pada paragraf kedua, penulisan kalimat menimbulkan kerancuan dalam penalaran karena terlalu banyak pemenggalan yang tidak perlu, seharusnya ditulis: Pada usia 20 tahun, Lafayette, seorang aristokrat dari Auvergne, Prancis Selatan, berangkat ke Amerika tahun 1777, ketika belum ada harapan bagi perjuangan orang Amerika untuk membebaskan diri dari penjajahan Inggris. Saat itu Raja Prancis tidak mengizinkan siapa pun bergabung dengan revolusi di ”benua baru” itu. Tapi Lafayette punya kenekatan, ambisi, dan cita-cita luhur. Hatinya berkobar dengan keyakinan yang disuratkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika. Ia pun berangkat dari pantai Spanyol dengan menyamar sebagai seorang perempuan.

Pada paragraf ketiga seharusnya tidak perlu digunakan tanda – karena bisa menggunakan konjungtor atau kata penghubung. Sehingga, menurut saya seharusnya ditulis Akhirnya, setelah menyatakan diri tak hendak menerima bayaran sepeser pun, ia diterima bergabung dengan tentara pembebasan yang dipimpin George Washington. Di antara pasukannya yang berpakaian berantakan, Jenderal Amerika itu menyambut pemuda Prancis yang kurus itu dengan hormat: ”Kami harus merasa malu, mempertontonkan diri di depan seorang perwira yang baru saja meninggalkan pasukan Prancis.” Lafayette menjawab: ”Untuk belajar, dan bukan mengajar, saya datang kemari.”

Pada paragraf-paragraf selanjutnya sampai paragraf terakhir masih banyak terdapat kesalahan penulisan kalimat yang kurang lengkap sehingga menimbulkan kerancuan penalaran dan pemenggalan kalimat yang terlalu pendek serta penulisan tanda baca yang kurang tepat. Berikut ini adalah alternatif penulisan yang lebih tepat menurut saya sesuai dengan ejaan yang disempurnakan dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Lafayette memang belajar banyak, melalui perang, luka, intrik politik dengan gairah yang tidak kunjung menciut. Ia kembali ke Prancis setelah empat tahun bertempur. Beberapa tahun kemudian ia terlibat langsung dengan Revolusi Prancis.

Pada 11 Juli 1789, dia yang darah birunya berasal dari kelas bangsawan lama yang pertama kali mengajukan rancangan ”Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara”: ”Manusia dilahirkan sama-rata dalam hak-haknya, dan tetap demikian adanya….” Dalam dokumen Prancis itu, terasa gema Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditulis 13 tahun sebelumnya—gema sesuatu yang kemudian terbukti universal.

Tetapi kita tahu, Revolusi Prancis berakhir tidak sama dengan Revolusi Amerika. Bung Karno pernah mengatakan, tidak ada model revolusi yang ”ready-for-use”. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tidak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tidak mudah diutak-atik. ”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”

Maka Rusia, dengan cita-cita pembebasan universal, tidak bisa menyamakan kondisi Cina untuk melihat lahirnya sebuah revolusi sosialis. Jalan Mao berbeda dengan jalan Stalin. Bahkan pada akhirnya keduanya bertentangan. Rusia, Cina, Yugoslavia, Korea Utara, Kuba, dan lain-lain: revolusi tidak bisa difotokopi.
Tetapi ia bisa menjalar. Pada abad ke-20 ia menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya….

Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavoj Žižek menyimpulkan: pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, ”Semua kita di seluruh dunia dengan segera tidak mustahil menyamakan diri dengannya.”

Yang menarik, Žižek melihat kontras pemberontakan di Mesir dengan ”revolusi Khomeini” di Iran. Di sana, kaum kiri harus ”menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam.” Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, ”kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan.” Justru Ikhwanul Muslimin, kata Žižek, ”menggunakan bahasa tuntutan sekuler.”

Kata ”sekuler” di sini tampaknya sama dengan ”tidak didominasi pandangan agama apa pun” dan sebab itu ”universal”, menyentuh siapa saja, di mana saja. Tetapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal?

Žižek salah. Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga mempunyai sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: ”Islam” menjadi hanya ”kami”, tak lagi ”kita”.

Tapi apa boleh buat, revolusi bukan sekadar penjelmaan ”ide yang abadi” (kata-kata Žižek) tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. ”Hak untuk mempunyai hak” tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit.
Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam.

Tetapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia. Dalam proses itu, pergeseran dari ”kita” ke ”kami” tidak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara ”kami” dan ”mereka”—dan di situ, ”kita” ditiadakan.

Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal—kemerdekaan, keadilan, harga diri—dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Akan demikian jugakah gemuruh di Alun-alun Tahrir itu?

Karim, seorang demonstran muda, menyebut lapangan itu sebuah ”utopia kecil”. Tapi utopia, dalam arti harfiahnya, terdiri atas kata ou dan topos, ”bukan dan tempat”. Ia jejak dari satu kejadian yang akan segera hilang. Mereka yang cemas perlu mengerahkan kesetiaan yang besar untuk selalu merebut kembali yang hilang itu.
Maka Lafayette tak berhenti di satu sisi Lautan Atlantik dan namanya tidak tenggelam hanya sampai di abad ke-18. Revolusi tidak bisa difotokopi dan tak pernah selesai.

HARTONO
10208573
3 EA 10