Minggu, 20 Maret 2011

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA (1)

MESH

Oleh Goenawan Muhamad

Kalau ada sumur di ladang
Boleh aku menumpang mandi

Tiap kali ke luar rumah, saya mengutuk. Atau mengeluh. Di dalam mobil.
Mobil, akhirnya, sebuah kontradiksi. Ia berasal dari kombinasi kata auto + mobile. Tapi ”auto” itu pelan-pelan hilang, karena akhirnya tak istimewa lagi ada kendaraan yang bisa bergerak sendiri. Kini kata ”mobile” yang ke depan—dengan arti ”gerak yang cepat dan mudah”. Tapi itu sebabnya saya mengutuk: berada di jalan-jalan Jakarta, mobil ternyata menentang maknanya sendiri.

Tak pelak lagi, benda ini telah berubah peran. Saya coba baca sejarahnya. Ia dimulai sebagai sesuatu yang eksklusif, salah satu bentuk ”kekayaan posisional” dalam pengertian Fred Hirsch. Tapi dengan segera tak demikian lagi. Sejak awal abad ke-20, di Prancis Panhard et Levassor sudah memproduksi mobil secara massal. Tahun 1893, Duryea Motor Wagon Company jadi perusahaan pembuat mobil pertama di Amerika, disusul oleh Cadillac dan Ford yang memproduksi ribuan mobil dengan cepat. Transformasi pun terjadi: kendaraan ini kini sebuah bentuk ”kekayaan demokratik”—yang diharapkan akan bisa dimiliki siapa saja. Contoh terakhir: mobil murah Tata Nano di India.

Semangat ”kesetaraan sosial” abad ke-20 punya dampak di sini: tiap orang punya hak sama untuk punya benda-benda yang dulu bukan dianggap bagian hidup kelas bawah.
Tapi tak cuma itu. Perluasan pasar kapitalisme tak putus-putusnya menebarkan impian baru. Masyarakat pun membiasakan hasrat untuk ”punya”. Berkecamuklah sikap yang ”dungu dan satu-sisi”, untuk meminjam kata-kata Marx: orang anggap sebuah barang hanya jadi bagian dari diri bila langsung dimiliki untuk jadi modal, atau langsung dimakan, diminum, dikenakan, dihuni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya: seluruh hasrat dan kapasitas manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan ”punya”, der Sinn des Habens.

Mobil—yang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadi—kian menunjukkan sejarah yang muram itu ketika ia jadi contoh gejala kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima setengah juta kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-rata 9,5% per tahun, ketika panjang jalan hanya bertambah 0,1%.
Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tak ada satu kekuasaan yang bisa menyetop kecenderungan itu. Negara bukan saja dikacau birokrasinya sendiri, tapi juga dilumpuhkan persekongkolan gelap yang membuat apa yang ”publik” dicincang-cincang kepentingan privat yang terpisah-pisah.

Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebaskan individu dalam mengambil keputusan. ”Sayangnya,” sebagaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth, buku lama yang masih saya anggap penting, ”pembebasan individual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua individu bersama-sama.”
Demikianlah kita beli motor, mobil, sesuai dengan hak dan kemampuan kita. Tapi akhirnya kita tak jadi lebih bebas. Macet pada tiap kilometer, mustahil kita mencapai tujuan dengan waktu yang kita pilih.

Tapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilakukan?

Mungkin kita perlu menghitung. Juga mengenang. Kita menghitung apa yang terbuang. Berapa jam dalam sehari sebenarnya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal? Kira-kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24 jam. Berapa ruang yang diambil satu mobil di jalan dan di tempat parkir, sementara pengendaranya hanya dua manusia? Sekitar 12 meter persegi. Kepentingan privat yang terpisah-pisah akhirnya telah membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama. Sebuah telaah memperkirakan, jika sampai tahun 2020 tak ada perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 triliun per tahun, termasuk kerugian nilai waktu perjalanan: Rp 37 triliun.
Maka kita perlu mengenang: bukan ke masa ketika mobil belum ditemukan, tapi ke masa ketika orang masih bisa berbagi. Saya teringat lagu itu: ”kalau ada sumur di ladang…”. Bukan saja sumur masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa ”menumpang mandi”.

Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah tapi kini terasa luar biasa: jika sumur—atau mobil, atau kamar apartemen, atau rumah peristirahatan—hanya dipakai sesekali oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain juga bisa memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Ini pesan cara survival.
Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan banyak tempat tinggal (yang tak mereka pakai), keserakahan dan kemubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dengan ketimpangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang tak banyak digunakan—hingga kita tak punya taman, wilayah pohon-pohon, arena bertemu dan bermain.

Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudyanto, seorang warga Lippo Village, Karawaci, Tangerang, dengan membuat komunitas online yang ia beri nama nebeng.com, bisa jadi model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif. Bergabung untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke arah kebebasan dari sikap ”dungu dan satu-sisi”, dari cengkeraman der Sinn des Habens.

Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan pentingnya sharing (bukan owning), akan menamai ide Rudyanto sebagai contoh ”mesh”: jalinan saling berbagi pelbagai hal, sebuah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tak biasa dianggap ”ekonomi”. Di situ berbagi tak berarti mengurangi kekayaan, tapi justru mengembalikan kekayaan: hidup di dunia yang lebih sehat dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupakan.

Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tak akan mengutuk lagi.

Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 07 Maret 2011

Analisa kesalahan penulisan dan penggunaan tanda baca

Pada paragraf pertama, terdapat kesalahan penulisan dalam hal pemakaian kata tiap, seharusnya setiap. Pemenggalan kalimat seharusnya tidak terlalu banyak, sehingga bisa disatukan menjadi: Setiap kali ke luar rumah, saya mengutuk atau mengeluh di dalam mobil.

Pada paragraf kedua, penulisan awal kalimat menimbulkan kerancuan dalam penalaran, seharusnya ditulis: Mobil, akhirnya menjadi sebuah kontradiksi. Pada kalimat kedua, seharusnya digunakan kata dan, bukan tanda +. Kata tapi seharusnya tetapi. Kata tak seharusnya tidak.

Pada paragraf ketiga kalimat kedua seharusnya ditulis saya mencoba membaca sejarahnya. Pada kalimat keenam seharusnya ditulis Tahun 1893, Duryea Motor Wagon Company menjadi perusahaan pembuat mobil pertama di Amerika, disusul oleh Cadillac dan Ford yang memproduksi ribuan mobil dengan cepat. Pada kalimat terakhir terdapat kesalahan tanda baca, karena tidak baku, seharusnya ditulis Transformasi pun terjadi, kendaraan ini kini menjadi sebuah bentuk ”kekayaan demokratik” yang diharapkan akan bisa dimiliki siapa saja, misalnya mobil murah Tata Nano di India.

Pada paragraf-paragraf selanjutnya sampai paragraf terakhir masih banyak terdapat kesalahan penulisan kalimat yang kurang lengkap sehingga menimbulkan kerancuan penalaran dan pemenggalan kalimat yang terlalu pendek serta penulisan tanda baca yang kurang tepat. Berikut ini adalah alternatif penulisan yang lebih tepat sesuai dengan ejaan yang disempurnakan dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Semangat ”kesetaraan sosial” abad ke-20 menyebabkan setiap orang mempunyai hak sama untuk memiliki benda-benda yang dulu belum dianggap sebagai bagian hidup kelas bawah.

Tetapi tidak hanya itu, perluasan pasar kapitalisme tidak putus-putusnya menebarkan impian baru. Masyarakat pun membiasakan hasrat untuk ”punya”. Berkecamuklah sikap yang ”dungu dan satu-sisi”, untuk meminjam kata-kata Marx, orang menganggap sebuah barang hanya menjadi bagian dari diri bila langsung dimiliki untuk jadi modal, atau langsung dimakan, diminum, dikenakan, dihuni. Sebuah sejarah yang muram sebenarnya. Seluruh hasrat dan kapasitas manusia, kata Marx, digantikan oleh kesadaran akan ”punya”, der Sinn des Habens.

Mobil—yang di Jakarta lebih dari 80% milik pribadi—kian menunjukkan sejarah yang muram itu ketika ia menjadi contoh gejala kongesti. Mobil saya terenyak di antara sekitar lima setengah juta kendaraan pribadi di Jakarta, yang jumlahnya bertambah rata-rata 9,5% per tahun, sementara panjang jalan hanya bertambah 0,1%.

Macet, kongesti, mandek. Tampaknya tidak ada satu kekuasaan yang bisa menyetop kecenderungan itu. Negara bukan saja dikacaukan birokrasinya sendiri, tetapi juga dilumpuhkan oleh persekongkolan gelap yang membuat apa yang ”publik” dicincang-cincang kepentingan pribadi yang terpisah-pisah.

Pilihan yang ditawarkan pasar memang mampu membebaskan individu dalam mengambil keputusan. Sayangnya, sebagaimana dikatakan Hirsch dalam The Social Limits to Growth, buku lama yang masih saya anggap penting, ”pembebasan individual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua individu bersama-sama.”
Demikianlah kita membeli motor, mobil, sesuai dengan hak dan kemampuan kita. Tetapi, akhirnya kita tak jadi lebih bebas. Macet pada tiap kilometer membuat kita mustahil mencapai tujuan dengan waktu yang kita pilih.

Tetapi sebenarnya saya capek mengeluh. Apa yang bisa dilakukan?

Mungkin kita perlu menghitung juga mengenang. Kita menghitung apa yang terbuang. Berapa jam dalam sehari sebenarnya kita perlu mobil di kota ini dalam keadaan normal? Kira-kira kurang dari 5 jam. Tapi kita ingin menguasai milik itu 24 jam. Berapa ruang yang diambil satu mobil di jalan dan di tempat parkir, sementara pengendaranya hanya dua manusia? Sekitar 12 meter persegi. Kepentingan pribadi yang terpisah-pisah akhirnya telah membuang begitu banyak dana, waktu, ruang bersama. Sebuah telaah memperkirakan, jika sampai tahun 2020 tak ada perbaikan dalam sistem transportasi di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, kerugian ekonomi akan mencapai Rp 65 triliun per tahun, termasuk kerugian nilai waktu perjalanan Rp 37 triliun.
Maka kita perlu mengenang, bukan ke masa ketika mobil belum ditemukan, tetapi ke masa ketika orang masih bisa berbagi. Saya teringat lagu itu: ”kalau ada sumur di ladang…”. Bukan saja sumur masih terletak di tempat terbuka, tapi juga orang masih bisa ”menumpang mandi”.

Yang tersirat dari pantun itu adalah sesuatu yang dulu lumrah tapi kini terasa luar biasa: jika sumur—atau mobil, atau kamar apartemen, atau rumah peristirahatan—hanya dipakai sesekali oleh yang punya, alangkah baiknya jika di saat sisanya orang lain juga bisa memakainya. Ini bukan cuma sebuah pesan moral. Tetapi Ini juga pesan cara survival.

Di Jakarta, di mana ada orang bisa punya banyak mobil dan banyak tempat tinggal (yang tidak mereka pakai), keserakahan dan kemubaziran pun bertaut. Kita bukan saja hidup dalam ketimpangan sosial. Kita juga makin membuang ruang untuk hal yang tak banyak digunakan sehingga kita tidak punya taman, wilayah pohon-pohon, arena bertemu dan bermain.

Itu sebabnya gagasan yang dirintis di tahun 2005 oleh Rudyanto, seorang warga Lippo Village, Karawaci, Tangerang, dengan membuat komunitas online yang ia beri nama nebeng.com, bisa jadi model untuk membangun cara dan sikap hidup alternatif. Bergabung untuk nebeng satu mobil mungkin satu jalan kecil ke arah kebebasan dari sikap ”dungu dan satu-sisi”, dari cengkeraman der Sinn des Habens.

Lisa Gansky, penulis dan entrepreneur yang menunjukkan pentingnya sharing (bukan owning), akan menamai ide Rudyanto sebagai contoh ”mesh”: jalinan saling berbagi pelbagai hal, sebuah ekonomi yang dibangun oleh sikap yang tidak biasa dianggap ”ekonomi”. Di situ berbagi tidak berarti mengurangi kekayaan, namun justru mengembalikan kekayaan. Hidup di dunia yang lebih sehat dalam sikap saling mempercayai, sikap yang selama ini dilupakan.

Jika itulah yang akan saya dapatkan di Jakarta, saya pasti tidak akan mengutuk lagi.

HARTONO
10208573
3 EA 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar