DRUPADI
MEY
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebentuk jalinan asmara. Pacaran? Hampir setiap malam aku tidur bersamamu. Pernikahan? Sampai detik ini kita berdua belum punya surat nikah karena tidak terdaftar di KUA manapun. Lima tahun juga bukan waktu yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Sejauh ini aku merasa belum benar-benar memahami jalan pikiranmu, begitupun kau, selalu berpikir betapa sulitnya mengerti bagaimana perasaanku sesungguhnya.
Aku cuma ingin kau segera melamarku dan menikahiku secara resmi secepatnya. Tetapi, kau terus saja menunggu sampai dunia ini jadi milikmu, hanya sekadar untuk membuatmu yakin bahwa dengan begitu, aku tidak akan pernah bisa berpaling darimu.
Kamu salah besar, Januar. Kamu tidak perlu memberikan dunia beserta seluruh isinya kalau hanya untuk membahagiakan seorang perempuan, kau hanya perlu membuatnya merasa menjadi perempuan paling bahagia dan beruntung di dunia dengan memberikan dirimu seutuhnya. Cukup. Titik.
Kau tetap saja keras kepala.
“Sebaiknya, kita berpisah sementara, Mey, beri aku waktu untuk berpikir apakah kita akan melanjutkan hubungan ini atau hanya sampai di sini saja!” ucapanmu malam itu masih terngiang-ngiang di kepalaku sampai detik ini dan itu adalah kesekian kalinya kau mengucapkannya kepadaku.
Aku remuk. Hilang bentuk. Aku runtuh. Hancur seluruh.
…jadi jangan salahkan aku kalau malam ini, aku menghabiskan sisa hariku dalam pelukan lelaki lain. Aku sungguh tak ingin pulang dan tidur bersamamu malam ini. Maafkan aku, Januar! Ucapku lirih dalam hati.
“Hey, kenapa kamu bengong, mey?” tanya Okto membuyarkan lamunanku.
“Gak apa-apa, aku cuma lagi mikir mau pulang naik apa, jam segini pasti sudah nggak ada angkutan umum yang lewat” jawabku sekenanya.
“Yaudah, kalo gitu, aku antar kamu pulang sekarang, Mey, lagipula sudah jam 3 pagi, sebentar lagi Kafe ini tutup, jam 5 pagi” tanya Okto lagi.
“Aku tidak ingin pulang ke rumah jiwaku yang lama: Januar, sudah hancur berantakan. Aku ingin pergi menuju rumah jiwaku yang baru: kamu, Okto.”
Pinta batinku lirih berbisik
“Okto, Boleh, aku menginap di rumahmu pagi ini” tanyaku ragu.
Okto tak menjawab. Membatu diam. Tetapi bagiku itu adalah jawaban iya yang implisit.
Percakapan kami berlanjut panjang hingga kafe itu tutup jam 5 pagi. Seperti halnya Okto yang tidak pernah suka jika ditanya tentang kuliahnya yang tidak pernah selesai, padahal dia termasuk mahasiswa cerdas yang kalau dia mau, sebenarnya bisa saja dia menyelesaikan skripsinya dan ikut wisuda tahun ini, begitupun aku yang selalu hanya bilang “tidak jelas” jika ditanya tentang hubunganku dengan Januar saat ini.
*****
JANUAR
Mimpi itu datang lagi untuk kesekian kalinya: tentang Mey yang bersuami dua, aku dan lelaki bajingan terpelajar itu.
Maafkan aku, Mey! Kau di mana sekarang, sayang? Ponselmu mati. Pesan pendekku tak kunjung kau balas.
Bersamanyakah kau saat ini?
Mimpi itu membuatku terjaga sepanjang malam. Memaku diri di depan lukisan Drupadi itu. Terpajang tepat di atas tempat tidurku. Lukisan seorang perempuan yang kata si pembuatnya adalah Drupadi.
“Anggap saja sebagai kenang-kenangan sekaligus ramalanku tentang perempuanku yang akan kau cintai kelak di kemudian hari” kata sang seniman pencipta lukisan itu, teman kuliahku di jogja, sehari sebelum aku pergi meninggalkan jogja dan kuliahku.
Yang paling kukagumi dari temanku sang seniman lukis itu adalah kemampuan intuitifnya dalam menerka masa depan yang nyaris sempurna, tanpa meleset sedikitpun. Aku tidak percaya sedikitpun kata-katanya ketika itu. Seni adalah seni. Mistik adalah mistik.
Aku salah. Lukisan perempuan yang dinamai Drupadi itu, secara keseluruhan benar-benar mirip Mey, hampir seratus persen sama, hanya busananya saja yang berbeda. Itulah alasan mengapa kini lukisan itu berada tepat di atas tempat tidurku, karena aku selalu berharap perempuan secantik dan semisterius itulah yang akan selalu berada disisiku ketika kali pertama aku membuka mata setiap pagi tiba.
“Kau tampak seperti seorang pencari ilmu sejati, Januar. Kabar buruknya, kau tidak akan mendapatkannya di bangku kuliah. Karenanya aku tidak akan heran, kalau nanti kau tidak akan pernah menyelesaikan kuliahmu. Kabar baiknya, kau bakal jadi seorang pembelajar sejati seumur hidup. Dan hebatnya lagi, kau tidak akan pernah kesulitan dalam urusan harta, tetapi kau harus hati-hati dengan perempuan, itulah satu-satunya ujian terberat dalam hidupmu” itulah kata pengantar perkenalan sang seniman lukis itu ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Jogja.
Sialan. Lagi-lagi ramalan si seniman lukis jenius tapi gila itu benar terbukti keakuratannya.
“Kamu dari mana saja, Mey? Jam segini baru pulang?” todong Januar kepada Mey yang tiba-tiba muncul di rumah Januar pagi-pagi buta.
“Aku capek, mau tidur, kita bahas besok saja”
Kelelahan. Mey langsung terlelap di kamar Januar.
Akumulasi antara kehabisan kata-kata dan ketidaktegaan melihat Mey yang tampak sangat kelelahan membuat Januar hanya duduk terpaku. Lama. Diam. Termangu disamping Mey yang nyenyak.
Bau parfum lelaki di pakaian Mey tidak dapat menipunya. Mungkin segelas air putih dingin bisa sedikit menenangkannya.
Usai meneguk setengah gelas air putih dingin di kulkas dekat dapur, dengan gelas kaca masih ditangannya, Januar kembali ke kamarnya, dan kali ini dia tidak sedang bermimpi ketika mendengar Mey mengigau sambil berkata…
“Januar memang lelaki paling baik dan bertanggung jawab yang pernah kukenal, tetapi dalam urusan memahami dan bagaimana membahagiakan perempuan kau jauh lebih cerdas darinya, Okto. Itulah kelemahan terbesarnya. Dan entah mengapa aku selalu merasa lebih nyaman ketika berada dalam pelukanmu, Okto”
Januar tersentak mendengarnya. Igauan Mey menyulut kembali api yang sejak tadi berusaha diredam Januar.
Pengakuan yang tercipta dari alam bawah sadar adalah sejujur-jujurnya pernyataan. Kali ini Januar bisa memahami dan meyakini kebenaran teori Psikoanalisa Freud.
Gelas kaca masih ditangannya. Setengah terisi. Januar kembali teringat mimpinya tentang Mey yang berubah menjadi Drupadi dan bersuami dua. Lukisan Drupadi di atas tempat tidurnya tiba-tiba tersenyum persis seperti senyuman misterius Monalisa. Senyum getir. Senyum sindir. Senyum culas. Senyum puas. Sama seperti senyum Mey yang terlelap disisinya kini.
Darahnya semakin mendidih. Emosinya tak terkendali. Ia lemparkan gelas kaca ditangannya ke lukisan drupadi yang tersenyum mengejek kepadanya itu.
Mey terjaga. Tersentak. Terkejut oleh suara gelas kaca pecah tepat di atas kepalanya. Tetapi tak mampu bergerak sedikitpun dalam dekapan erat Januar yang langsung menempelkan pecahan gelas kaca itu di leher Mey.
“Mey, semalam kamu tidur di mana, sayang?”
“Aku tidur di…”
…Darah segar mengalir dari leher jenjang Mey yang indah sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya…
Januar tak lupa memberikan kecupan perpisahan di kening perempuan yang sangat dicintainya itu. Lalu bergegas pergi ke luar rumah dan meninggalkan Mey yang sudah tak bernyawa…
*****
OKTO
Mey. Perempuan cantik paling intelek yang pernah dikencaninya. Sulit menemukan perempuan sepertinya, itulah alasan mengapa hingga berusia kepala tiga Okto belum juga menikah.
Pagi ini Okto sangat lelah tapi tak bisa memejamkan mata, seolah ingin saat-sat Mey berada dalam pelukannya tidak akan pernah berakhir.
Okto belum selesai mengaduk kopi hitam hasil racikannya ketika tiba-tiba seseorang mendobrak pintu rumahnya yang terkunci sampai jebol.
Tanpa banyak basa-basi. Januar langsung mengarahkan sepucuk pistol tepat ke arah Okto yang masih terkejut dan tak mampu berkutik sedikitpun.
Bunyi letusan senjata api memecah keheningan pagi terindah dalam hidup Okto.
Aku bukan Arjuna yang rela berbagi seorang Drupadi dengan keempat saudaranya. Seolah berbagi harta rampasan perang. Kita bukan Lima Pandawa yang harus selalu menuruti apa yang dikatakan Kunti. Kita hidup di bumi, bukan di kahyangan, aku hanya seekor primata berjalan tegak yang bertindak rasional ketika betina pasangannya direbut primata lainnya.
“Semalam kau tidur dengan siapa, Okto?”
Hartono Mustafa Hamdani. Bekasi. 18 Maret 2010. 04:49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar