Kapitalisme Religius?
Oleh Luthfi Assyaukanie
Saya lebih senang menggunakan kata ‘liberal’ daripada ‘kapitalis’ dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih ‘netral’ dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.
DALAM sebuah simposium tentang Pemikiran Nurcholish Madjid di Universitas Paramadina (18/3), Bahtiar Effendy menyatakan bahwa Cak Nur, lebih tepat disebut sebagai seorang ‘kapitalis religius’ daripada ‘sosialis religius.’
Pandangan Bachtiar yang lugas itu saya kira benar belaka. Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pemikir liberal muslim dalam hal politik-keagamaan yang juga bersikap liberal dalam masalah-masalah ekonomi. Meski tak banyak berbicara tentang pemikiran ekonomi karena memang bukan bidangnya, pandangan-pandangan keekonomian Cak Nur boleh dibilang lebih dekat kepada liberalisme ketimbang sosialisme.
Saya lebih senang menggunakan kata ‘liberal’ daripada ‘kapitalis’ dalam membicarakan sikap ekonomi dalam pemikiran Islam. Alasannya karena istilah ini lebih ‘netral’ dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern. Alasan lainnya karena istilah ini berkorelasi dengan sikap dasar politik-keagamaan para intelektual muslim liberal secara umum.
Pemikiran ekonomi adalah bidang yang paling sedikit menjadi perhatian dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Bukan hanya karena tak banyak orang yang ahli tentang masalah ini, tapi juga karena isu ekonomi tidak menjadi perhatian utama para pemikir Islam. Selain itu, wacana ekonomi dalam pemikiran Islam kontemporer telah terdistorsi sedemikian rupa dalam wacana ‘islamisasi ekonomi’ yang lebih bersifat ideologi ketimbang ilmu.
Saya menganggap pernyataan seperti yang diungkapkan Bahtiar Effendy di atas penting untuk menyadarkan kita semua bahwa pemahaman ekonomi dalam pemikiran Islam di Indonesia sangat beragam. Tidak seperti yang disangka banyak orang, sikap kaum Muslim terhadap isu ekonomi tak hanya satu, yakni sikap ekonomi yang sosialistis.
Dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, pemikiran ekonomi memang selalu dikaitkan dengan sosialisme. Hal ini pertama-tama terkait erat dengan akar pemikiran Islam itu sendiri yang penuh dengan sejarah sosialisme. Atau malah juga terkait erat dengan sejarah pemikiran ekonomi di Indonesia secara keseluruhan yang memang sangat didominasi oleh pemikiran kiri (baca; sosialis).
Citra bahwa Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan tak terpisah telah disemai sejak Tjokroaminoto, bapak pemikiran Islam modern. Tjokroaminoto adalah intelektual Islam pendukung sosialisme.
Setelah Tjokroaminoto, sejarah pemikiran keekonomian dalam Islam hampir tak bisa keluar dari paradigma sosialisme. Intelektual seperti Sjafruddin Prawiranegara atau Muhammad Roem, yang kerap dianggap sebagai pemikir garda depan Masyumi, adalah seorang ‘sosialis religius’. Mungkin karena alasan historis ini, banyak generasi pemikir dan intelektual Islam yang lebih belakangan, menganggap Islam dan sosialisme sebagai satu kesatuan yang tak terpisah. Simaklah tulisan-tulisan para intelektual semacam Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Amien Rais, dan Kuntowijoyo.
Dalam konteks ini, Cak Nur adalah pengecualian. Tidak seperti para intelektual Islam yang disebut di atas, ia bersikap liberal baik dalam pemikiran politik-keagamaan maupun dalam hal pemikiran ekonomi. Yang saya maksud dengan liberal di sini adalah sikap dasar dalam memberikan toleransi yang besar kepada mekanisme pasar dan independensi masyarakat dari negara.
‘Sekularisasi’ ekonomi. Jika kita mengamati tulisan-tulisan Cak Nur yang berkaitan dengan isu Islam dan ekonomi, sangat jelas sekali pesan yang ingin disampaikannya, yakni bahwa Islam tidak mengurusi hal-hal detil tentang ekonomi. Sebetulnya, ini adalah perluasan dari sikap dasar dia dalam hal politik-keagamaan, yakni bahwa Islam tak mengurusi hal-hal detil tentang politik.
Sikap dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan mengapa Rektor Paramadina itu, misalnya, menolak gagasan ‘ekonomi Islam’. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Dawam Rahardjo, yang jelas-jelas mendukung ekonomi Islam. Bahkan Dawam mendukung ekonomi Islam versi yang sangat ideologis, yakni ekonomi Islam yang dikembangkan oleh IIIT (International Institute of Islamic Thought), lembaga Islam yang banyak didanai Arab Saudi, dan dikenal dengan proyek islamisasi ilmunya. Dawam adalah Direktur IIIT cabang Indonesia.
Sikap dasar di atas sangat penting untuk melihat bagaimana penyikapan terhadap hubungan agama dan negara berpengaruh dan memiliki korelasi positif terhadap hubungan ekonomi dan negara. Intelektual seperti Cak Nur adalah orang yang memiliki sikap tegas tentang hubungan agama dan negara. Sejak lama ia dikenal sebagai penganjur sekularisasi atau pemisahan agama dari negara.
Buat dia, agama sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan-urusan negara, dan begitu juga sebaliknya, negara sebaiknya jangan mencampuri urusan agama. Jika diterjemahkan dalam bahasa ekonomi, kaidah ini berarti bahwa harus ada pemisahan antara negara dan pasar atau negara dan ekonomi masyarakat. Negara tidak berhak mengatur bagaimana pasar bekerja, sebagaimana pasar juga tidak semestinya ‘meminta pertolongan’ dari negara untuk diatur.
Penting untuk dicatat di sini bahwa intelektual yang memiliki sikap tegas terhadap sekularisasi politik (pemisahan negara dan agama) juga memiliki sikap yang tegas dalam ‘sekularisasi’ ekonomi (pemisahan negara dan pasar). Cak Nur dikenal sebagai pendukung setia sekularisasi politik, dan karenanya, dalam masalah ekonomi, juga tak memiliki beban untuk menerapkan prinsip sekularisasi itu. Sementara para intelektual yang menolak atau minimal ragu-ragu dalam mendukung tesis sekularisasi politik, juga akan mengalami persoalan (baca; penolakan) ketika berbicara tentang ‘sekularisasi’ ekonomi.
Dalam beberapa tulisannya dan juga wawancara saya dengannya, Dawam menolak ide sekularisasi dan menolak gagasan pemisahan agama dari negara. Menurutnya, negara harus menjadi pelindung dan pengayom agama. Tanpa negara, ajaran-ajaran agama tak akan bisa berjalan dengan baik. Sikap pro-negara seperti itu, tidak kita temukan pada Cak Nur yang sepenuhnya mendukung gagasan sekularisasi. Buat dia, peran negara bukanlah sebagai pengatur dan penentu arah jalannya ekonomi. Pasar harus dibiarkan bebas, dan kompetisi harus dijunjung tinggi sebagai elemen positif dalam pembangunan ekonomi.
Dalam buku terbarunya, Indonesia Kita, yang banyak membahas persoalan politik dan kenegaraan, Cak Nur menguraikan tentang pentingnya peran keterbukaan dan liberalisasi ekonomi. Privatisasi dan kegiatan ekonomi bebas, menurutnya, bukan hanya akan melahirkan dan mendorong ekonomi yang sehat, tapi juga dapat mempercepat dan memperkuat konsolidasi demokrasi. (Indonesia Kita, hlm 131).
Tanpa perlu dikatakan, Cak Nur selalu menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai cita-cita politik Islam. Hanya saja, berbeda dari para pendukung ‘ekonomi sosialis’ atau ‘ekonomi kerakyatan,’ keadilan dan kesejahteraan ini harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang fair dan bebas. Kalaupun ia harus diterjemahkan menjadi negara kesejahteraan (welfare state), maka hal itu haruslah dibangun di atas landasan ekonomi liberal, seperti negara-negara kesejahteraan di Eropa melakukannya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar