Gerakan mahasiswa
dan penegakan HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya
di bawah hegemoni rezim korporatokrasi[1]
oleh: Hartono
(Mahasiswa semester 4 jurusan manajemen FE Universitas Gunadarma)
Kondisi gerakan mahasiswa pasca reformasi yang semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas berbanding lurus dengan semakin menguatnya hegemoni korporatokrasi[2] dalam mengendalikan Negara, terutama dalam hal pengabaian terhadap hak asasi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Seperti yang terlihat dalam beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat kecil di bidang ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di beberapa daerah dan melibatkan korporasi-korporasi besar, di mana seakan-akan mahasiswa yang seharusnya bisa mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya malah justru membiarkan wong cilik ini berjuang sendirian melawan kesewenang-wenangan rezim korporatokrasi.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi dan reduksi makna dalam gerakan mahasiswa pasca reformasi di antaranya; pertama, kegagalan gerakan mahasiswa dalam mengidentifikasi musuh bersama sebagai faktor perekat gerakan yang menyebabkan hilangnya fokus gerakan sehingga menjadi cenderung sporadis dan parsial, kedua, proses depolitisasi dan sterilisasi kehidupan kampus menciptakan gap antara mahasiswa dan kehidupan rakyat kecil sehingga mayoritas mahasiswa kurang memiliki kepekaan sosial terhadap problematika rakyat kecil karena terus disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang tidak berkaitan langsung dengan isu-isu kerakyatan, ketiga, gerakan mahasiswa sering kali terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi tertentu yang berorientasi pada kekuasaan.
Absennya gerakan mahasiswa yang diharapkan mampu menjadi kekuatan penyeimbang sebagai pihak oposisi selain partai politik dan organisasi non pemerintah lainnya terhadap rezim korporatokrasi ini menyebabkan rendahnya pencapaian penegakan HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia yang meliputi hak atas pangan, sandang, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, akses pelayanan kesehatan, serta hak untuk hidup layak, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, angka kematian ibu melahirkan, dan kasus balita busung lapar, sementara akses masyarakat luas terhadap kesehatan dan pendidikan dinilai masih sangat rendah.
Di sisi lain, kondisi pemenuhan HAM ekonomi, sosial dan budaya juga terkait dengan proses globalisasi ekonomi saat ini. Globalisasi telah menyebabkan penyediaan kebutuhan ekonomi seperti sandang dan pangan semakin berada di wilayah ekonomi bebas. Perlu kita sadari bahwa era globalisasi memberikan ruang seluas-luasnya bagi kekuasaan bisnis, dan kekuasaan ini semakin lama semakin besar saja. Bahkan, kekuasaan negara pun kini mulai tersingkir oleh dominasi kekuasaan bisnis. Hal ini tampak dari ketidak-berdayaan pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai badan publik, khususnya dalam upaya penegakan hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Peraturan dan kebijakan yang dibuat bukan lagi berdasarkan pada kepentingan masyarakat, melainkan mulai dipengaruhi kepentingan bisnis semata.
Peran bisnis semakin menguat. Terutama perusahaan-perusahaan dengan bentuk multinasional (MNCs) atau transnasional (TNCs). Tidak dipungkiri bahwa kehadiran mereka bisa meningkatkan iklim ekonomi dan perbaikan taraf kehidupan masyarakat. Namun, di sisi lain, kehadiran mereka juga ternyata tak pernah sepi dari kasus pelanggaran HAM ekonomi, sosial dan budaya, atau sering disebut sebagai malpraktek bisnis. Seperti, pelanggaran terhadap pekerja, diskriminasi masyarakat lokal, dan makin buruknya lingkungan hidup sekitar akibat pencemaran limbah yang dilakukan oleh perusahaan. Bahkan, bila kita ingin jujur, malpraktek bisnis ini justru lebih besar mendatangkan kerugian dibandingkan manfaat yang diterima oleh masyarakat.
Hal ini diperparah lagi dengan belum disadarinya oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dan bahkan masyarakat itu sendiri yang sering menjadi korban malah justru belum menyadari sepenuhnya akan hal-hal yang menjadi hak-haknya dan mengartikulasikannya sesuai kapasitas mereka bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.[3]
Upaya penegakan dan penanganan HAM di Indonesia sebenarnya telah diawali pemerintah dengan meratifikasi 4 instrumen komponen HAM yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi. Ada satu konvenan yang fokus pada penanganan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yaitu International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Walaupun telah meratifikasi ICESCR, namun hal ini belum menjamin tercapainya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
Menurut Sosiolog B. Herry Priyono, hak asasi ekonomi, sosial dan budaya memang masih banyak dilihat hanya sebagai “aspirasi” ketimbang “hak asasi”. Sehingga tidak mengherankan jika banyak negara atau komunitas internasional lebih bisa menerima pengabaian hak sipil dan politik daripada hak ekonomi, sosial, dan budaya hingga pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dibiarkan terus terjadi.
Lemahnya penegakan, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, terutama bidang ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia, bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama, termasuk mahasiswa yang berperan sebagai agen perubahan dituntut untuk lebih proaktif mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat kecil yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM agar menjadi lebih sadar dan berani membela hak-haknya. Di samping itu juga diperlukan kesadaran dan komitmen dari kalangan bisnis dan korporasi besar untuk ikut berperan dalam mengupayakan penegakan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, bukan hanya demi kepentingan segelintir orang melainkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas.
Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, masyarakat luas, gerakan mahasiswa, maupun korporasi besar untuk duduk bersama dalam upaya renegosiasi dengan suatu paradigma pembangunan baru yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
[1] Artikel ini ditulis sebagai tugas matakuliah softskill pendidikan kewarganegaraan.
[2] Istilah korporatokrasi di gunakan oleh Jhon Perkins untuk menggambarkan betapa dalam rangka membangun imperium global, korporasi multinasional, lembaga keuangan internasional, dan pemerintah bergabung menyatukan kekuatan financial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka (Jhon Perkins, Confessions Of An Economic Hit Man, 2004)
[3] Di antaranya Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar