Kamis, 18 Maret 2010

DRUPADI

DRUPADI


MEY

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebentuk jalinan asmara. Pacaran? Hampir setiap malam aku tidur bersamamu. Pernikahan? Sampai detik ini kita berdua belum punya surat nikah karena tidak terdaftar di KUA manapun. Lima tahun juga bukan waktu yang lama untuk saling mengenal dan memahami. Sejauh ini aku merasa belum benar-benar memahami jalan pikiranmu, begitupun kau, selalu berpikir betapa sulitnya mengerti bagaimana perasaanku sesungguhnya.

Aku cuma ingin kau segera melamarku dan menikahiku secara resmi secepatnya. Tetapi, kau terus saja menunggu sampai dunia ini jadi milikmu, hanya sekadar untuk membuatmu yakin bahwa dengan begitu, aku tidak akan pernah bisa berpaling darimu.

Kamu salah besar, Januar. Kamu tidak perlu memberikan dunia beserta seluruh isinya kalau hanya untuk membahagiakan seorang perempuan, kau hanya perlu membuatnya merasa menjadi perempuan paling bahagia dan beruntung di dunia dengan memberikan dirimu seutuhnya. Cukup. Titik.

Kau tetap saja keras kepala.

“Sebaiknya, kita berpisah sementara, Mey, beri aku waktu untuk berpikir apakah kita akan melanjutkan hubungan ini atau hanya sampai di sini saja!” ucapanmu malam itu masih terngiang-ngiang di kepalaku sampai detik ini dan itu adalah kesekian kalinya kau mengucapkannya kepadaku.

Aku remuk. Hilang bentuk. Aku runtuh. Hancur seluruh.

…jadi jangan salahkan aku kalau malam ini, aku menghabiskan sisa hariku dalam pelukan lelaki lain. Aku sungguh tak ingin pulang dan tidur bersamamu malam ini. Maafkan aku, Januar! Ucapku lirih dalam hati.

“Hey, kenapa kamu bengong, mey?” tanya Okto membuyarkan lamunanku.

“Gak apa-apa, aku cuma lagi mikir mau pulang naik apa, jam segini pasti sudah nggak ada angkutan umum yang lewat” jawabku sekenanya.

“Yaudah, kalo gitu, aku antar kamu pulang sekarang, Mey, lagipula sudah jam 3 pagi, sebentar lagi Kafe ini tutup, jam 5 pagi” tanya Okto lagi.

“Aku tidak ingin pulang ke rumah jiwaku yang lama: Januar, sudah hancur berantakan. Aku ingin pergi menuju rumah jiwaku yang baru: kamu, Okto.”
Pinta batinku lirih berbisik

“Okto, Boleh, aku menginap di rumahmu pagi ini” tanyaku ragu.

Okto tak menjawab. Membatu diam. Tetapi bagiku itu adalah jawaban iya yang implisit.

Percakapan kami berlanjut panjang hingga kafe itu tutup jam 5 pagi. Seperti halnya Okto yang tidak pernah suka jika ditanya tentang kuliahnya yang tidak pernah selesai, padahal dia termasuk mahasiswa cerdas yang kalau dia mau, sebenarnya bisa saja dia menyelesaikan skripsinya dan ikut wisuda tahun ini, begitupun aku yang selalu hanya bilang “tidak jelas” jika ditanya tentang hubunganku dengan Januar saat ini.

*****

JANUAR

Mimpi itu datang lagi untuk kesekian kalinya: tentang Mey yang bersuami dua, aku dan lelaki bajingan terpelajar itu.

Maafkan aku, Mey! Kau di mana sekarang, sayang? Ponselmu mati. Pesan pendekku tak kunjung kau balas.

Bersamanyakah kau saat ini?

Mimpi itu membuatku terjaga sepanjang malam. Memaku diri di depan lukisan Drupadi itu. Terpajang tepat di atas tempat tidurku. Lukisan seorang perempuan yang kata si pembuatnya adalah Drupadi.

“Anggap saja sebagai kenang-kenangan sekaligus ramalanku tentang perempuanku yang akan kau cintai kelak di kemudian hari” kata sang seniman pencipta lukisan itu, teman kuliahku di jogja, sehari sebelum aku pergi meninggalkan jogja dan kuliahku.

Yang paling kukagumi dari temanku sang seniman lukis itu adalah kemampuan intuitifnya dalam menerka masa depan yang nyaris sempurna, tanpa meleset sedikitpun. Aku tidak percaya sedikitpun kata-katanya ketika itu. Seni adalah seni. Mistik adalah mistik.

Aku salah. Lukisan perempuan yang dinamai Drupadi itu, secara keseluruhan benar-benar mirip Mey, hampir seratus persen sama, hanya busananya saja yang berbeda. Itulah alasan mengapa kini lukisan itu berada tepat di atas tempat tidurku, karena aku selalu berharap perempuan secantik dan semisterius itulah yang akan selalu berada disisiku ketika kali pertama aku membuka mata setiap pagi tiba.

“Kau tampak seperti seorang pencari ilmu sejati, Januar. Kabar buruknya, kau tidak akan mendapatkannya di bangku kuliah. Karenanya aku tidak akan heran, kalau nanti kau tidak akan pernah menyelesaikan kuliahmu. Kabar baiknya, kau bakal jadi seorang pembelajar sejati seumur hidup. Dan hebatnya lagi, kau tidak akan pernah kesulitan dalam urusan harta, tetapi kau harus hati-hati dengan perempuan, itulah satu-satunya ujian terberat dalam hidupmu” itulah kata pengantar perkenalan sang seniman lukis itu ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Jogja.

Sialan. Lagi-lagi ramalan si seniman lukis jenius tapi gila itu benar terbukti keakuratannya.

“Kamu dari mana saja, Mey? Jam segini baru pulang?” todong Januar kepada Mey yang tiba-tiba muncul di rumah Januar pagi-pagi buta.

“Aku capek, mau tidur, kita bahas besok saja”

Kelelahan. Mey langsung terlelap di kamar Januar.

Akumulasi antara kehabisan kata-kata dan ketidaktegaan melihat Mey yang tampak sangat kelelahan membuat Januar hanya duduk terpaku. Lama. Diam. Termangu disamping Mey yang nyenyak.

Bau parfum lelaki di pakaian Mey tidak dapat menipunya. Mungkin segelas air putih dingin bisa sedikit menenangkannya.

Usai meneguk setengah gelas air putih dingin di kulkas dekat dapur, dengan gelas kaca masih ditangannya, Januar kembali ke kamarnya, dan kali ini dia tidak sedang bermimpi ketika mendengar Mey mengigau sambil berkata…

“Januar memang lelaki paling baik dan bertanggung jawab yang pernah kukenal, tetapi dalam urusan memahami dan bagaimana membahagiakan perempuan kau jauh lebih cerdas darinya, Okto. Itulah kelemahan terbesarnya. Dan entah mengapa aku selalu merasa lebih nyaman ketika berada dalam pelukanmu, Okto”

Januar tersentak mendengarnya. Igauan Mey menyulut kembali api yang sejak tadi berusaha diredam Januar.

Pengakuan yang tercipta dari alam bawah sadar adalah sejujur-jujurnya pernyataan. Kali ini Januar bisa memahami dan meyakini kebenaran teori Psikoanalisa Freud.

Gelas kaca masih ditangannya. Setengah terisi. Januar kembali teringat mimpinya tentang Mey yang berubah menjadi Drupadi dan bersuami dua. Lukisan Drupadi di atas tempat tidurnya tiba-tiba tersenyum persis seperti senyuman misterius Monalisa. Senyum getir. Senyum sindir. Senyum culas. Senyum puas. Sama seperti senyum Mey yang terlelap disisinya kini.

Darahnya semakin mendidih. Emosinya tak terkendali. Ia lemparkan gelas kaca ditangannya ke lukisan drupadi yang tersenyum mengejek kepadanya itu.

Mey terjaga. Tersentak. Terkejut oleh suara gelas kaca pecah tepat di atas kepalanya. Tetapi tak mampu bergerak sedikitpun dalam dekapan erat Januar yang langsung menempelkan pecahan gelas kaca itu di leher Mey.

“Mey, semalam kamu tidur di mana, sayang?”

“Aku tidur di…”

…Darah segar mengalir dari leher jenjang Mey yang indah sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya…

Januar tak lupa memberikan kecupan perpisahan di kening perempuan yang sangat dicintainya itu. Lalu bergegas pergi ke luar rumah dan meninggalkan Mey yang sudah tak bernyawa…

*****

OKTO

Mey. Perempuan cantik paling intelek yang pernah dikencaninya. Sulit menemukan perempuan sepertinya, itulah alasan mengapa hingga berusia kepala tiga Okto belum juga menikah.

Pagi ini Okto sangat lelah tapi tak bisa memejamkan mata, seolah ingin saat-sat Mey berada dalam pelukannya tidak akan pernah berakhir.

Okto belum selesai mengaduk kopi hitam hasil racikannya ketika tiba-tiba seseorang mendobrak pintu rumahnya yang terkunci sampai jebol.

Tanpa banyak basa-basi. Januar langsung mengarahkan sepucuk pistol tepat ke arah Okto yang masih terkejut dan tak mampu berkutik sedikitpun.

Bunyi letusan senjata api memecah keheningan pagi terindah dalam hidup Okto.

Aku bukan Arjuna yang rela berbagi seorang Drupadi dengan keempat saudaranya. Seolah berbagi harta rampasan perang. Kita bukan Lima Pandawa yang harus selalu menuruti apa yang dikatakan Kunti. Kita hidup di bumi, bukan di kahyangan, aku hanya seekor primata berjalan tegak yang bertindak rasional ketika betina pasangannya direbut primata lainnya.

“Semalam kau tidur dengan siapa, Okto?”



Hartono Mustafa Hamdani. Bekasi. 18 Maret 2010. 04:49

Rabu, 10 Maret 2010

MENTALITAS “KERUMUNAN” PARA DEMONSTRAN*

Mengapa aksi-aksi demonstrasi, baik yang dilakukan oleh mahasiswa, aktivis buruh, anggota ormas maupun elemen-elemen masyarakat lainnya selalu diidentikkan dengan tindakan anarkistis dan aksi kekerasan? Bahkan dalam beberapa kasus, hal tersebut justru dilakukan oleh oknum aparat keamanan-dengan dalih melindungi diri atau menjaga ketertiban dan keamanan-yang seharusnya melindungi para demonstran dari ancaman serangan pihak lain yang berbeda kepentingan dengan para demonstran tersebut.

Ada beberapa faktor yang menurut penulis menjadi penyebab timbulnya penilaian negatif dan antipati publik terhadap aksi-aksi demonstrasi yang disertai tindakan kekerasan dan anarkistis. Pertama, meskipun aksi demonstrasi mempunyai andil besar terhadap lengsernya rezim orde lama yang dipelopori gerakan mahasiswa angkatan ’65 dengan dukungan ABRI dan runtuhnya rezim orde baru yang dimotori oleh gerakan mahasiswa angkatan ’98 dengan dukungan tokoh-tokoh reformis, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) terhadap aksi-aksi demonstrasi anarkistis yang sering terjadi di Indonesia.

Betapapun mulianya suatu niat baik untuk menyuarakan aspirasi golongan masyarakat yang termarjinalkan, tetapi dalam pelaksanaannya merugikan banyak pihak, apalagi sampai menimbulkan korban luka-luka dan korban jiwa, justru menjadi hal yang kontraproduktif dan memprihatinkan.

Kedua, terbentuknya mentalitas “kerumunan” para demonstran sebagai ekses dari meleburnya identitas pribadi ke dalam identitas kelompok yang cenderung mengarah kepada tindakan-tindakan anonim tidak bertanggung jawab, yang menurut fakta di lapangan, awalnya hanya dilakukan oleh segelintir orang tertentu sebagai provokator lalu menulari demonstran-demonstran lainnya yang mudah terpengaruhi.

Ketiga, buruknya kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi besar, baik ormas maupun orma yang memungkinkan masuknya orang-orang yang tidak mempunyai visi dan tujuan yang jelas dalam berorganisasi, sehingga hanya sekadar menjadi “follower” tanpa memahami dengan baik substansi dan esensi sebuah aksi demonstrasi sebagai bagian dari proses perjuangan pergerakan.

Keempat, maraknya praktek makelar demonstrasi yang dibiayai oleh institusi-institusi atau individu-individu berkantong tebal demi kepentingan mereka sendiri yang menjadikan aksi demonstrasi hanya sekadar ajang mobilisasi massa untuk menggiring opini publik terhadap isu-isu yang mengancam kelangsungan bisnis atau karir politik mereka ke arah yang menguntungkan mereka sebagai pemodal. Bagi para demonstran bayaran, aksi demonstrasi semacam ini hanyalah sekadar ajang mencari uang di tengah-tengah kondisi sulitnya mencari pekerjaan.

Kelima, ada beberapa ormas besar yang dalam setiap aksi-aksi demonstrasinya selalu berujung pada tindakan anarkistis; pemukulan, pembakaran rumah ibadah, pengrusakan tempat hiburan, entah memang sudah niat awal atau spontan melakukannya? Dan yang paling menyedihkan, mereka selalu mengatasnamakan agama atau etnis tertentu.

Aksi demonstrasi minus kekerasan dan tindakan anarkistis, masih tetap diperlukan, karena masih sering terjadi kegagalan dalam proses komunikasi, negosiasi, mediasi, dan diplomasi di tingkat elite. Maka dari itu, penulis berharap kepada aktor-aktor intelektual sebagai motor penggerak aksi-aksi demonstrasi untuk lebih selektif memilih para demonstran yang akan berunjuk rasa, lebih kreatif memilih format aksi yang mengundang simpati publik, misalnya; aksi damai teatrikal, dan jangan sampai terjebak ke dalam praktek makelar demonstrasi dengan alasan apapun demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas dan efektifitas aksi demonstrasi di negeri ini.

*(pernah dimuat di harian Seputar Indonesia)

Hartono. Bekasi. Maret 2010

Selasa, 09 Maret 2010

Redefinisi Nasionalisme melalui Kepemimpinan Generasi Muda di bidang Ekonomi Kreatif

Redefinisi Nasionalisme melalui Kepemimpinan Generasi Muda di bidang Ekonomi Kreatif

Kepemimpinan masa depan bukan lagi pada soal siapa, melainkan pada apa dan bagaimana bentuk kepemimpinan. Yang harus kita perhatikan bersama bukan lagi sekadar tokoh (figure) atau pimpinan (leader) , tapi lebih kepada kepemimpinan (leadership).

Dalam konteks ekonomi, sehubungan dengan dicanangkannya Tahun Indonesia Kreatif 2009 oleh Presiden SBY, kita bisa melihat pemerintah mulai menunjukkan keseriusannya untuk mengembangkan ekonomi kreatif melalui industry kreatif, dimana subsector industry kreatif yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah yang bersentuhan dengan seni dan budaya.

Industry kreatif ini sangat erat kaitannya dengan anak muda yang notabene adalah calon pemimpin masa depan, karena kalau kita perhatikan profil para pelaku industry kreatif sebagian besar adalah anak-anak muda.

Menurut John Howkins dalam The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, ekonomi kreatif diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Sedangkan, industri kreatif adalah industry yang berbasis kreativitas, keterampilan, dan talenta yang memiliki potensi peningkatan kesejahteraan serta penciptaan lapangan kerja dengan menciptakan dan mengeksploitasi Hak Kekayaan Inteletual (HKI). Analoginya, ekonomi kreatif adalah rumahya, sedangkan industri kreatif adalah binatangnya.

Dengan memadukan ide, seni, budaya, dan teknologi diharapkan lahirnya generasi muda yang bukan hanya kreatif dan menguasai teknologi, tetapi juga sadar dan bangga akan kekayaan dan keanekaragaman seni dan budaya lokal kita. Sehingga akan muncul dalam diri generasi muda Indonesia nilai-nilai nasionalisme baru yang lebih segar, lebih kreatif dan lebih produktif. Buka sekadar jargon-jargon atau slogan-slogan kosong tanpa makna, apalagi bukti nyata berupa hasil karya.

Selama ini subsector industry kreatif, terutama di bidang fashion, periklanan dan desain yang paling besar kontribusinya terhadap PDB sampai saat ini masih didominasi anak-anak muda dari kalangan kelas menengah ke atas yang punya akses ke jurusan desain, arsitektur dan periklanan di perguruan tinggi. Untuk mewujudkan peran lebih aktif dan massif dari anak muda dalam ekonomi kreatif perlu adanya peran lebih besar pemerintah untuk menjamin pemerataan yang lebih luas di bidang pendidikan tinggi. Disamping itu, perlu juga adanya pergeseran paradigma masyarakat umum terhadap anak-anak muda yang memilih berkarir di bidang seni dan budaya, karena saat ini bidang-bidang tersebut juga punya peluang ekonomi di masa yang akan datang, seperti halnya bidang-bidang karir lainnya.

The last poet in the 21st century and nine muses

The last poet in the 21st century and nine muses
:Pujangga terakhir abad 21 dan sembilan musae

Liz, kamu adalah perempuan paling cantik di kampusku Gunadar Mal (worst class university)
V, kamulah tuhan dengan “t” kecil yang paling (s)ekspresif
DEE, di dunia ini cuma megan fox, nicole kidman, atau drew barrymore yang bisa menyaingi sensualitas bibir kamu
Julia, aku 17 tahun lagi selamanya kalau di dekatmu
Marja, cuma kamu yang bisa bikin aku murtad jadi nietszchean karena berani melarang aku untuk bilang kalau tuhan telah mati, menyembah diriku sehari lima waktu, neraka itu (ti)ada, kiamat pasti datang (2012, mungkin katamu), ah, ay, bukankah joker selalu bersabda: Why so religious?
Layla, aku rela tak melihat matahari lagi selama 1000 tahun lamanya asalkan aku tetap dapat melihat matamu sebentar saja tanpa berkedip sedetikpun
Maia, bukan sekedar tokoh fiktif dalam novelku yang entah kapan bisa kuselesaikan
Crishye Oktaviana a.k.a Cici, sabar ya, neng! Aa lima semester lagi jadi Sarjana EKonomi Sastra, nanti di kartu nama akan tertulis; Hartono, SEKS. Hebat kan? Aa juga pasti akan datang untuk melamarmu lalu menikahimu dengan mas kawin seperangkat alat mendaki gunung komplit dibayar lunas
Eva, kalau saja waktu itu kau tak merayuku, mungkin kita masih bisa berbagi kavling dengan iblis di surga. Kembalikan tulang rusukku yang tuhan pinjam dariku untukmu!

Liz+V+DEE+Julia+Marja+Layla+Maia+Cici+Eva+Harsz = ~
Liz+V+DEE+Julia+Marja+Layla+Maia+Cici+Eva = 0
Harsz / Liz+V+DEE+Julia+Marja+Layla+Maia+Cici+Eva = 1
harsz
Dekat tong sampah di depan pintu masuk kampus, 08/12/2009

Gerakan mahasiswa dan penegakan HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya di bawah hegemoni rezim korporatokrasi

Gerakan mahasiswa

dan penegakan HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya

di bawah hegemoni rezim korporatokrasi[1]

oleh: Hartono

(Mahasiswa semester 4 jurusan manajemen FE Universitas Gunadarma)

Kondisi gerakan mahasiswa pasca reformasi yang semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas berbanding lurus dengan semakin menguatnya hegemoni korporatokrasi[2] dalam mengendalikan Negara, terutama dalam hal pengabaian terhadap hak asasi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Seperti yang terlihat dalam beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat kecil di bidang ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di beberapa daerah dan melibatkan korporasi-korporasi besar, di mana seakan-akan mahasiswa yang seharusnya bisa mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya malah justru membiarkan wong cilik ini berjuang sendirian melawan kesewenang-wenangan rezim korporatokrasi.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi dan reduksi makna dalam gerakan mahasiswa pasca reformasi di antaranya; pertama, kegagalan gerakan mahasiswa dalam mengidentifikasi musuh bersama sebagai faktor perekat gerakan yang menyebabkan hilangnya fokus gerakan sehingga menjadi cenderung sporadis dan parsial, kedua, proses depolitisasi dan sterilisasi kehidupan kampus menciptakan gap antara mahasiswa dan kehidupan rakyat kecil sehingga mayoritas mahasiswa kurang memiliki kepekaan sosial terhadap problematika rakyat kecil karena terus disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang tidak berkaitan langsung dengan isu-isu kerakyatan, ketiga, gerakan mahasiswa sering kali terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi tertentu yang berorientasi pada kekuasaan.

Absennya gerakan mahasiswa yang diharapkan mampu menjadi kekuatan penyeimbang sebagai pihak oposisi selain partai politik dan organisasi non pemerintah lainnya terhadap rezim korporatokrasi ini menyebabkan rendahnya pencapaian penegakan HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia yang meliputi hak atas pangan, sandang, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, akses pelayanan kesehatan, serta hak untuk hidup layak, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, angka kematian ibu melahirkan, dan kasus balita busung lapar, sementara akses masyarakat luas terhadap kesehatan dan pendidikan dinilai masih sangat rendah.

Di sisi lain, kondisi pemenuhan HAM ekonomi, sosial dan budaya juga terkait dengan proses globalisasi ekonomi saat ini. Globalisasi telah menyebabkan penyediaan kebutuhan ekonomi seperti sandang dan pangan semakin berada di wilayah ekonomi bebas. Perlu kita sadari bahwa era globalisasi memberikan ruang seluas-luasnya bagi kekuasaan bisnis, dan kekuasaan ini semakin lama semakin besar saja. Bahkan, kekuasaan negara pun kini mulai tersingkir oleh dominasi kekuasaan bisnis. Hal ini tampak dari ketidak-berdayaan pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai badan publik, khususnya dalam upaya penegakan hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Peraturan dan kebijakan yang dibuat bukan lagi berdasarkan pada kepentingan masyarakat, melainkan mulai dipengaruhi kepentingan bisnis semata.

Peran bisnis semakin menguat. Terutama perusahaan-perusahaan dengan bentuk multinasional (MNCs) atau transnasional (TNCs). Tidak dipungkiri bahwa kehadiran mereka bisa meningkatkan iklim ekonomi dan perbaikan taraf kehidupan masyarakat. Namun, di sisi lain, kehadiran mereka juga ternyata tak pernah sepi dari kasus pelanggaran HAM ekonomi, sosial dan budaya, atau sering disebut sebagai malpraktek bisnis. Seperti, pelanggaran terhadap pekerja, diskriminasi masyarakat lokal, dan makin buruknya lingkungan hidup sekitar akibat pencemaran limbah yang dilakukan oleh perusahaan. Bahkan, bila kita ingin jujur, malpraktek bisnis ini justru lebih besar mendatangkan kerugian dibandingkan manfaat yang diterima oleh masyarakat.

Hal ini diperparah lagi dengan belum disadarinya oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dan bahkan masyarakat itu sendiri yang sering menjadi korban malah justru belum menyadari sepenuhnya akan hal-hal yang menjadi hak-haknya dan mengartikulasikannya sesuai kapasitas mereka bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.[3]

Upaya penegakan dan penanganan HAM di Indonesia sebenarnya telah diawali pemerintah dengan meratifikasi 4 instrumen komponen HAM yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi. Ada satu konvenan yang fokus pada penanganan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yaitu International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Walaupun telah meratifikasi ICESCR, namun hal ini belum menjamin tercapainya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Kondisi penanganan dan penegakan hak-hak asasi manusia tersebut masih belum maksimal.

Menurut Sosiolog B. Herry Priyono, hak asasi ekonomi, sosial dan budaya memang masih banyak dilihat hanya sebagai “aspirasi” ketimbang “hak asasi”. Sehingga tidak mengherankan jika banyak negara atau komunitas internasional lebih bisa menerima pengabaian hak sipil dan politik daripada hak ekonomi, sosial, dan budaya hingga pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dibiarkan terus terjadi.

Lemahnya penegakan, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, terutama bidang ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia, bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama, termasuk mahasiswa yang berperan sebagai agen perubahan dituntut untuk lebih proaktif mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat kecil yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM agar menjadi lebih sadar dan berani membela hak-haknya. Di samping itu juga diperlukan kesadaran dan komitmen dari kalangan bisnis dan korporasi besar untuk ikut berperan dalam mengupayakan penegakan Hak Asasi Manusia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, bukan hanya demi kepentingan segelintir orang melainkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat luas.

Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, masyarakat luas, gerakan mahasiswa, maupun korporasi besar untuk duduk bersama dalam upaya renegosiasi dengan suatu paradigma pembangunan baru yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.



[1] Artikel ini ditulis sebagai tugas matakuliah softskill pendidikan kewarganegaraan.

[2] Istilah korporatokrasi di gunakan oleh Jhon Perkins untuk menggambarkan betapa dalam rangka membangun imperium global, korporasi multinasional, lembaga keuangan internasional, dan pemerintah bergabung menyatukan kekuatan financial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka (Jhon Perkins, Confessions Of An Economic Hit Man, 2004)

[3] Di antaranya Undang-Undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.